Mohon tunggu...
Udi H. Pungut
Udi H. Pungut Mohon Tunggu... profesional -

mantan ketua KLOMPENCAPIR; penumpang setia KA ekonomi bersubsidi Jabotabek; donatur tetap WARTEG.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nyali Gus Dur Ternyata Cuma 60%

10 Februari 2012   03:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:50 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keberanian Gus Dur (Abdurahman Wahid) menurut saya hanya lebih sedikit dari setengah. Nyatanya dia hanya berani membubarkan Deppen dan Depsos. Dua departemen itu layak dan harus dibubarkan karena tidak berguna dan di jaman Soeharto, terutama Deppen, merupakan lembaga propaganda untuk memperkokoh rezim. Ada satu departemen yang lebih tidak berguna (Dapertemen Agama) dan Gus Dur tak berani membubarkannya. Jika saja Gus Dur berani, keberaniannya boleh jadi lebih dari 100%.

Akibat ketidakberanian Gus Dus membubarkan Departemen Agama, sampai sekarang kita harus bayar ongkos social besar. Departemen Agama bukan sekedar membuang anggaran negara (yang sebagian besar di korup), tapi alih – alih membuat orang nyaman memilih atau tidak memilih agama malah sering “melukai” kehidupan (tidak) beragama.

Agama adalah persoalan individual, untuk apa pula negara mengaturnya. Negara cukup menegakkan hukum untuk memastikan seluruh penduduk (yang beragama maupun tidak) memenuhi kewajiban dan memperoleh hak-haknya. Pemeluk  agama silakan mengekspresikan keberagamaannnya masing – masing selama tidak bertentangan dengan hukum.

Pendalaman pemahaman dan penanaman nilai-nilai agama pada “kelompok sasaran” tertentu adalah tugas penganut masing-masing. Karena itu pendidikan agama adalah tanggung jawab individual di mana negara tidak layak campur tangan. Campur tangan negara pada pendidikan agama menimbulkan potensi konflik. Contoh: buku apa yang dipakai untuk mengajarkan fiqih di sekolah, Bulughul Maram atau Riyadhus Shalihin? Biarkan masing-masing orang menentukan pendidikan agama yang paling cocok buat diri dan keluarganya. Cukuplah negara menyediakan pendidikan umum yang bermutu bagi semua orang.

Setiap agama punya tata-cara masing-masing tentang ritual dan hukum perkawinan. Di mata negara, semua orang selayaknya dipandang sama. Karena itu Pengadilan Agama tidak diperlukan dan semua perkawinan di daftar pada cacatan sipil dan sengketa perkawinan diselesaikan di pengadilan umum.

Bagaimana dengan pelaksanaan haji? Negara berkewajiban memfasilitasi setiap penduduk melakukan ibadat, termasuk ibadah haji. Selama ini, alih-alih menyediakan fasilitas “oknum negara” justru mengambil keuntungan dari penduduk yang berhaji. Sistem kepanitiaan yang bersifat permanen oleh departemen agama telah menumbuh-suburkan korupsi di sektor per-haji-an ini. Belajar dari negara lain, dari pada dirus oleh departemen fasilitasi negara di sektor haji lebih dilaksanakan oleh panitia ad hoc yang bersifat temporer.

Begitulah, Departemen (Kementerian) Agama itu bukan hanya tidak diperlukan tetapi justru merusak nama baik agama. Tetapi kenapa lembaga itu masih dan akan terus ada? Jangankan presiden se-lebai Bapak Susilo Bambang Yudoyono, Gus Dur yang pemberani saja gak berani membubarkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun