Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kekasih Terakhir

4 September 2021   23:02 Diperbarui: 4 September 2021   23:27 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imaged by pixabay.com

September ini menjadi September ceria di musim panas. Awan-awan merendah kegerahan karena merasa terlalu lekat dengan matahari, sehingga ini menjadikan keberuntungan bagi pepohonan ketika lengan-lengan awan menyentuhnya.  Lalu awan akan mencairkan butiran air yang menyapu ranting dan dedaunan di hawa 'humid' membuat pepohonan terus terjaga kehijauannya.

Beberapa sarang burung di pohon tinggi tak luput mengering, lalu akan mendapatkan embun tambahan sehingga gulungan ranting sarang itu terlihat segar berkilauan. Meski tampak banyak sarang telah kosong ditinggalkan pemiliknya, namun masih sebagian burung tinggal menetap.

Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini saya melihat burung-burung merentangkan sayapnya dan terbang meninggalkan sarangnya untuk menemukan rumah barunya. Serupa dengan orang-orang muda meninggalkan sarang kecilnya untuk mencari kehidupan baru.

Pandangan mata saya mengikuti kawanan burung-burung yang pergi meninggi, terbang hampir sejajar awan. Beberapa merundukkan kepalanya ke bawah dan membunyikan cuitannya lewat paruhnya yang terbuka, mengucapkan lagu pamit kepada saya. Saya melambaikan tangan mengucapkan selamat jalan kepada para kerabat muda yang meninggalkan tempat masa kecilnya yang tenang untuk mencari tempat yang lebih modern.

Selamat beruntung, sahabat! Saya berkata di dalam hati sambil hampir menangis. Unggas lepas itu mengerti betapa berat arti perpisahan untuk melupakan sarangnya dengan tujuan mencari kehidupan yang belum diketahui kecuali harapan.

Seekor burung berwarna indah tiba-tiba keluar dari barisan diatasnya dan meluncur turun deras seperti peluru menuju saya. Segera setelah mendekat, kepalanya berputar ke arah pepohonan tempat sarang-sarang yang tertinggal. Mata bundarnya berputar-putar seperti manik-manik lalu paruhnya terbuka dengan tembolok yang naik-turun. Suara yang dikeluarkan mulutnya begitu jernih untuk saya dengar.

Dia belum meninggalkanmu! Katanya seperti membawa kabar.
Siapa? Saya bertanya.
Mahluk bersayap itu tersenyum. Pacar kamu! Katanya dengan wajah tersipu.

Ssstt...! Saya menempelkan telunjuk ke bibir agar dia tidak berbicara keras mengenai hal itu.
Burung usil itu terkekeh sambil melebarkan kedua lengannya maksimal tanda bersiap melaju terbang menyusul rombongan muda mereka.
Bye..! katanya sambil meloncat naik seperti roket.

Saya memandang unggas lelaki itu, tampak dia demikian tegap dan mempesona meluncur menerjang angin dalam lembab kemarau, membuat tiba-tiba hati saya tertatih-tatih merana.

Bagaimana jika pria yang terbang itu kekasih saya? Oh! Dan dia memutuskan untuk pergi meninggalkan kenangan sangkar lahirnya untuk kembara mencari rumah yang baru? 

Seketika saya merasa begitu dekat dengan rasa yang berkeping-keping, seperti cerpen melowdrama. Tiba-tiba saja hati saya berdebar-debar menanti apakah saya akan menemukan keputusan itu pada hari ini, kekasih saya tercinta? 

Lalu saya berlari menyusuri jalan berliku yang memisahkan kawanan pepohonan besar dengan sangkarnya yang telah melompong seperti rumah mati. Burung-burung itu benar-benar pergi! 

Dipenuhi keraguan yang membuncah gaes! Saya tetap berlari menuju satu pohon yang terpisah, dimana hanya terdapat satu pohon kecil dibandingkan pohon-pohon gahar lain yang telah tak bertuan.
Yak! Ini sebuah pohon kecil 'soliter' namun daunnya rimbun dan aku sudah berada di dekatnya dengan hati yang nyaris hancur, seandainya dia pergi? Ah!

Bersama hati beku saya mendongakkan kepala untuk menyelidiki sangkar satu-satunya yang ada di atas pohon, tak sebagaimana biasanya tak ada suitan menyambut kedatangan saya. Saya pun melagukan panggilan yang hanya dimengerti oleh kami berdua dengan hati cemas. 

Beberapa saat berlalu hanya suara angin kemarau yang terdengar, saya hanya melihat sangkarnya yang terlihat berbeda dari lumrahnya sebuah sarang burung.

Maaf sayang aku ketiduran! Terdengar suara yang mengejutkan dari dalam sangkar yang sudah demikian saya kenal.
Ah! Sayang! Kupikir kau....
Aku masih disini sayang! Potongnya sambil mengusap kedua mata birunya bersama sayap indahnya yang bergerak turun naik.

Lalu pemuda berbulu itu terbang turun kedalam pangkuan saya sementara saya diliputi rasa bangga bahwa dia tidak meninggalkan saya seperti sahabat-sahabat yang lain.

Pangeran angkasaku! Mengapa engkau tidak besama pergi dengan yang lain mencari sarang yang baru? Saya bertanya untuk lebih mengetahui keteguhan hatinya. Namun burung itu tak menjawabnya, malah dia melekatkan bulu-bulu lembut unggasnya ke pipi saya. Dia bahkan lalu menyentuh telinga saya.

Aku tak akan bisa pergi,  kupikir inilah destiny ku, aku harus mati di dalam sangkarku, kekasihku! Bisiknya.

Saya pun tersenyum memandang ke atas pohon rindang itu, dimana sangkarnya kemarin memang telah saya tukar dengan sebuah kotak kayu yang bentuknya mirip peti mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun