Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Teman Mati

29 Mei 2020   10:26 Diperbarui: 29 Mei 2020   10:22 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Jess Foami dari Pixabay

Senja pasti sudah turun karena tidak lagi tersisa sinar membias lewat kaca ruang rawat, suster menutup tirai jendela besarnya. Seperti menutup satu lagi hari yang selesai. Terlihat pasien Jeni masih terbaring dengan posisi yang tak lebih sama seperti pagi. Matanya yang biru berlingkar bayang warna yang lebih gelap, seperti telah menahan satu kesakitan yang panjang.
"Jam berapa kini, suster?" Jeni bersuara lemah.
"Jam enam, nona" jawab sang suster.
"Dingin ku merasa, suster"
"Baik saya matikan AC, nona"
"Adakah yang datang di hari ini, suster?"
"Mmm.. mama, papa dan beberapa saya tak paham, nona"
"Terima kasih, suster"
"Mmm.. maaf nona. Apakah esok pintu tetap akan dikunci?"
"Suster harus tetap menguncinya rapat, tak seorang pun boleh melihat ku kecuali suster"
"Baik nona, akan saya lakukan" lalu suster perawat meninggalkannya.

Sudah hari ketujuh ini Jeni mengunci pintu kamar rawatnya dari orang orang yang ingin membesuknya, tanpa kecuali. Hanya suster lah yang bisa tetap leluasa masuk dan keluar kamarnya. Semenjak lebih satu bulan ini dirawat karena menderita sakit yang dia mengerti muskil untuk di remedi. Sementara Jeni merasakan raga yang semakin melemah dari senja ke senja, semakin susut  pula rasa indera yang menyertainya. Dan semakin mendekat pula dia merasakan kematian, lalu Jeni merasakan takut yang mulai mengurung tubuhnya. 

Selain harus tegar dia tidak mau orang lain melihatnya menangis,  ketakutan dalam kesendirian harus melepaskan dunia yang telah bertahun di huninya.  Jeni tidak mau terlihat menangis dia ingin menyembunyikan keberaniannya kedalam kedua tangannya yang ditangkupkan ke wajahnya. Jeni memiliki martabat untuk melewati mati, sekaligus ketakutan ketika menelusuri bayangan tujuan akhir. 

Dan Jeni lalu menutup pintunya kencang dan menguncinya rapat dari handai tolan dan teman yang mungkin ingin melihat apa yang salah dengan wajah pemberaninya.  Menutup pintu ruang rawatnya dan meninggalkan dirinya sendiri adalah tempat yang aman untuk menjatuhkan beban sehingga menjadi nyaman di kamar sendiri.

Jeni tidak menangis dan ia terlalu megah untuk menangis, meski ini menjadi komentar Jeni yang sangat lucu tentang sikap tabah terhadap mati. Dari hati kecil terdalamnya, jelas terpancar bahwa Jeni sangat pemalu, sehingga sebenarnya dia tidak bisa menghadapi kematian sendirian.
"Jeni takut mama.." begitu kala terakhir kali Jeni berbicara bersama ibunya.
"Tidak Jeni, mama tetap bersama kamu.." jawab sang ibu setengah meratap.

Tentu saja kepergian bersama adalah seperti doa dan membuang ketakutan, namun itu adalah salah satu satu konsep waktu yang memainkan fungsi kesedihan. Dan Jeni mengerti kebersamaan hanyalah ujung waktu dari kefanaan, dimana yang lain akan juga mati karena kesedihan jika yang lain pergi lebih dahulu. 

Jeni tidak menangis dan harus menyembunyikan ketabahan serta membuang takutnya dengan kematian bersama yang tak terengkuh. Sehingga ia memutuskan menutup pintu untuk meninggalkan dirinya sendiri didalam, menyembunyikan wajah di tangannya, menutup mata dengan gemetar.

"Suster saya gemetar" suatu pagi Jeni mengeluh kepada suster.
"Raihlah tangan saya, nona" Suster mengulurkan tangan dan merengkuh tangan Jeni hangat.  Suster baik hati itu membaca doa, untuk membawa sedikit penghiburan. Dia mengerti kesendirian Jeni di hari hari terakhir, dan suster menangis.
"Bolehkah saya menawarkan teman untuk menemani nona?" suster menawarkan.
"Tidak suster dan biarkan pintu kamar tetap terkunci rapat" Jeni memerintah lirih.
"Nona, teman ini teman masa kecil nona" suster berusaha dan Jeni membuka separuh kelopak matanya tanda perhatian.
"Siapakah dia gerangan, suster?"
"Dia bernama Tedi.." suster terlihat sedikit ragu. Jeni kembali terpejam, seperti berusaha mengingat silam akan masa kanak kanaknya yang nyaman dan menyenangkan. Namun dia tak mengingat jelas teman kecil Tedi, namun samar bayangan Tedi menyeruak kedalam kalbunya yang sekejap pula membuatnya tersenyum nyaman.
"Mungkin boleh aku menjumpainya suster?" akhirnya Jeni memutus.
"Baiklah nona. Biarkan saya membawanya masuk sekarang?"
Jeni mengangguk lemah, dan melihat sang suster perawat membawa Tedi mendekatnya. Jeni pun tersenyum lebar meski indera matanya mulai merabun dia tahu dan sangat mengenal Tedi yang begitu saling menyayangi di silam masa kecilnya. Lalu mereka berpelukan.
"Kamu akan menemani aku pergi bukan? Kita berdua" Jeni membisikkan ke telinga Tedi, sementara Tedi hanya terdiam dengan mata masa kecilnya yang tetap jenaka.

Hari menjelang mentari, namun ayam jantan tak  juga terdengar berkokok sedari subuh, mentari pun sangat hati hati menjalankan rodanya takut membuat kegaduhan pagi dengan sinarnya. Dan pagi terus berputar perlahan namun mempertahankan sunyi.
Suster terduduk menatap dengan mata berkabut pasien Jeni yang tertidur dingin di depannya, yang terlihat  bening wajahnya dengan segaris senyum sambil berpeluk boneka 'Teddy Bear'.   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun