Koman membaca lagi sastranya yang bertengger di kotak pemuncak. Dia kerap memperolehnya. Dia merasakan bagai sebuah mahkota yang telah disematkan oleh temans dan invisible hands.Â
Beberapa mengisyaratkan bahwa itulah penobatan aksara terindah di kotak ramai ini. Hari ini datang lagi, rasa digjaya mengalahkan susastera setra. Kali sekarang Koman tak berbangga jiwa. Penobatan itu menjadi berkali kali dan lumrah diotaknya, yang anomali dengan otak dibalik panggung dan benak benak penonton.
Meski Koman sebetulnya rajin membaca literasi khalayak di etalase panjang entitasi, yang masih mengharu birukan kalbu kepenyairannnya. Berusaha membebaskan segala bebat prosa juga sajak, dari kedua pelipisnya. Namun tidak ditemukan kebosanan, kecuali panggungnya yang kerap dipeluk tanpa keinginannya sendiri.
"Aku selesai, kupikir. Tidak kutemukan lagi nilai permata dalam komposisi" Â Koman berkeluh kepada kembarannya di cermin. Koman menanyakan kaca soal mahkota berlian penobatan yang disematkan rasa di kepala gundulnya.Â
Cermin menyahut bahwa, karbon didalam berlian dan karbon didalam batu bara adalah satu. Nilai permata bukanlah pada komposisi melainkan kristalisasi. Koman paham bahwa tak perlu menjadi ratu, tetapi lebih menjadi manusia spiritual yang telah melewati kristalisasi seperti nilai permata yang bukan karbon sehari hari.
Koman mulai menulis yang tidak menjadi keinginan tenaga dibalik panggung, yang masih berekonomi puncak instan dari rumus rintisan kuda poni.
Lalu hari itu dia menolak diri sendiri lebih kepada yang sama sama dimuliakan dari hiasan hiasan artifisial. Koman hanya menggerakkan jemari menulisnya dari atas yang melampaui mahkota yang terus menerus diberikan sebagai pamrih jasa. Koman menulis sekarang karena dia mendapat rahmat  alias telah dipilih sebagai yang lebih unggul daripada perhiasan sederhana matahari, mahkota langit. Dia menulis bukan untuk pilihan, melainkan telah dipanggil sepenuhnya seperti yang dipilih karena Rahmat.