"Ember.."
Lalu Yudi pun menjalani trit kemikal terapi. Invasif dan masif. Beberapa saat kemudian serampung prosedur, Â suster yang tadi sudah memapaknya. Meskipun pusing, Yudi masih mengenali sang suster.
"Halo pak Yudi? Â Kita ngamar ya" suster bercanda. Namun Yudi terlihat beku. Wajahnya baud.
"Kenapa bro? Kita move on, ya" suster paham lalu sigap menyurung brangkar menjelang kamar rawat. Yudi masih terdiam, demikian halnya si suster. Mereka menyusuri lorong, sepi suara, hanya derit halus roda amben pasien.
"Suster! Saya merasa kesakitan.." tiba tiba Yudi memecah kesunyian.
"Saya mahfum, pak. Â Pengobatan ini memang menyakitkan.." suster Morin menjadi simpati plus plus.
"Bukan Suter Morin. Kalo sakit ini saya sudah ndablek, tak merasakannya lagi. Ada sakit yang lain baru saja datang dan langsung menghantui saya"
"Loh, tadi engga di konsul sama dokter, pak Yudi?"
"Tidak suster Morin. Sakit yang ini tak bisa diobati, bahkan tak mengenal bedah operasi atau kemoterapi. Ini adalah sakit puncak yang paling akhir. Satu sakit yang paling sublim" Yudi berbicara dengan mata melamun.
"Maaf ya bro. Aku kurang paham"
"Tentu saja suster Morin. Belum waktunya untuk kamu mengerti, sekarang ini."
"Jadi sakitnya..?"
"Sakit menyambut kematian"