Dialah Kemat, dengan juntai baju hitamnya seperti melayang, cepat namun tepat waktu. Gerak bernasnya terlihat wibawa, begitu berani seperti perompak professional namun bersuara halus bak bayu.Â
Wajah buramnya seperti torehan garis senyum, sementara kesemua jemari yang mirip belulang mencengkeram sekantung debu yang sedikit jatuh berhamburan.Â
Dia melesat sejajar berjarak dengan barisan pengantar jenasah. Beberapa orang bisa melihatnya sementara sebagian besar hanya menangkap bayangnya. Seluruh warga bergerak mahfum akan kehadiran Kemat, karena begitulah adanya.
Namun kali ini pula terlihat seorang pemuda tampan, bersih berkulit putih. Berambut ikal sebahu, memandang dari kejauhan tempatnya berdiri. Mengamati warga yang mulai menurunkan jasad pak lurah ke liang lahat beriring derasnya doa hingga penutupan tanah hingga mencapai sempurna menampilkan gundukan pertanda tanah kepergian.
Sang pemuda elok bermata sejuk masih berdiri, sementara warga mulai berpaling kembali beriringan menuju pulang. Mereka melewati sang pemuda dan melihat dia bercahaya. Seperti ada kepastian dirasakan orang orang yang memandangnya.Â
Sementara jemari lentiknya menggenggam sekantung debu yang terlihat lembut, yang asapnya memutih mulai membubung.