"Bapak!"  sekilas aku mendengar dikeremangan, seseorang  terlewat menyapa.
"Mmm.." aku menoleh menatapnya, mencoba menggali file memori bertumpuk di benak, namun luput.
"Lepat yah? Abdi Kejo.." wajah itu mendekat ramah menyurung lengan untuk bersalam.
"Lupa euy?" aku menggeleng sambil menyalami.
"Widih, bapak teh tidak berubah ya? Saya kan dulu melukis bapak waktu muda, yang bareng kabogoh gitu?"
Dan kenanganku mulai merambat merupa bentuknya jelas. Iya, tentu saja kita pernah dilukis berdua disini, namun siapa tukang lukisnya aku blank. Â Seingatku, lukisan itu kamu sukak dan kamu simpan entah dimana.
"Sorangan  ini? Kemana mantan kabogoh, punten?" pelukis kembali mengusik kepo.
Aku melengos enggan menjawab, kerna ceritanya panjang mengenai kamu, yang hanya luka dan kehilangan, yang sekarang memanggil manggil kembali di jalan batu Braga, diketuaanku.
"Punten, kang saya dipayun" aku bermaksud mempercepat pembicaraan agar berlalu dari kenangan pedih terlebih soal paras elokmu di empat dekade silam. Akupun berjarak meninggalkan sang pelukis, namun belum sedepa dia kembali menyeru.
"Pak! Abdi teh, masih simpan satu lagi lukisan bapak berdua".
Aku berbalik penuh tanya, sungguh mati aku tak ingat soal lukisan kedua ini. Tapi tak taulah, aku mengikut saja sang pelukis, yang melarung masuk ke tumpukan lukisannya  yang berada dibawah kaki beton bangunan simpang Naripan.