Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merunut Jejak Tentara Londo Ireng di Purworejo

18 Oktober 2016   17:47 Diperbarui: 18 Oktober 2016   19:47 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gang Afrika di kampung Afrikan (foto: dok pri)

Ketika pemerintahan kolonial Belanda masih bercokol di Indonesia, ternyata banyak tentaranya yang tergabung dalam pasukan Koninklijk Nederlands-Indisce Leger (KNIL) merupakan orang-orang yang berasal dari daratan Afrika. Markas personil militernya di antaranya ada di kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Agak kesulitan mengendus jejak mereka, berikut catatannya saat merunutnya.

Para prajurit bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam ini, oleh masyarakat Purworejo tempo dulu disebut sebagai londo ireng alias Belanda hitam. Pasalnya, selain berpostur sama dengan bule-bule, mereka juga dianggap memiliki kasta lebih tinggi dibanding kaum pribumi. Maklum, orang-orang tersebut sengaja direkrut dari kawasan Afrika Barat. Mayoritas adalah mantan budak sehingga ketika derajatnya ditingkatkan oleh pemerintahan kolonial, mereka menjadi sosok yang sangat loyal terhadap tuannya.

Cukup sulit untuk merunut jejak para serdadu hitam tersebut, sebab, tidak ada catatan resmi tentang kehadiran mereka di kabupaten Purworejo. Kendati begitu, cerita turun menurun masih banyak diingat oleh orang-orang tua yang usianya di atas 80 tahun. Salah satunya adalah Sudarmo, kakek berusia 90 tahun warga desa Cangkrep itu konon lahir di tahun 1926 sempat menjadi saksi keberadaan londo ireng.

Pintu gerbang pemakaman Kerkhope di Purworejo (foto: dok pri)
Pintu gerbang pemakaman Kerkhope di Purworejo (foto: dok pri)
“Tentara KNIL yang berkulit hitam, seingat saya tinggal di kampung Afrikan. Mereka tinggal dengan keluarganya di kampung itu sampai kemerdekaan Indonesia secara perlahan mereka menghilang,” kata Sudarmo menggunakan bahasa Jawa.

Berdasarkan cerita dari almarhum ayahnya, lanjut Sudarmo, di tahun 1825-1830 saat terjadi peperangan antara Pangeran Diponegoro melawan militer Belanda, pihak Belanda mengalami kerugian besar. Pasalnya, 8.000 personil di pasukannya dinyatakan tewas akibat perang mau pun diterjang penyakit. Paska perang, direkrutlah para budak di Afrika untuk menjadi tentara bayaran. Mereka mulai berdatangan secara bergelombang sejak tahun 1831 hingga 1872.

Arsitek yang mendalangi keberadaan tentara londo ireng ini adalah Gubernur Jendral Van den Bosch yang dikenal sebagai penemu gagasan tanam paksa. Sampai tahun1872, total serdadu berkulit hitam yang bertugas di Indonesia mencapai 3.000 personil yang ditempatkan di Semarang, Salatiga dan Solo. Sementara di Purworejo mendapat jatah pasukan terbesar, yakni tiga kompi.


“Tentara londo ireng ditempatkan di tangsi militer Kedung Kebo,” kata Sudarmo terbata-bata.

Nisan prajurit Afrika yang sudah dilepas marmernya (foto: dok pri)
Nisan prajurit Afrika yang sudah dilepas marmernya (foto: dok pri)
Balas Dendam

Penempatan tiga kompi pasukan londo ireng yang semuanya masih berstatus bujangan di Purworejo ini, lanjut Sudarmo, dimaksudkan untuk memberangus perlawanan sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro yang masih aktif bergerak di daerah kecamatan Bagelen. Para prajurit kulit hitam yang dikenal sangat pemberani, diharapkan mampu membuat ciut nyali anggota laskar.

Pihak pemerintahan kolonial sendiri, sepertinya tak menutup mata atas keberadaan para prajuritnya yang berasal dari Afrika. Karena mayoritas adalah bujangan, tentunya kebutuhan biologisnya juga perlu disalurkan. Untuk itu, ada pembiaran bagi personil militer londo ireng dalam melampiaskan syahwatnya. Mereka banyak yang menjalin hubungan asmara dengan perempuan pribumi hingga melahirkan anak-anak Indo Afrika.

Bangunan nisan londo ireng yang juga raib mamernya (foto: dok pri)
Bangunan nisan londo ireng yang juga raib mamernya (foto: dok pri)
Bagi serdadu yang sudah memiliki istri, baik sah atau pun kumpul kebo, pemerintahan Belanda menyediakan lahan di bilangan Pangen. Satu orang diberi jatah tanah seluas 1.000 an meter persegi yang bisa dimanfaatkan untuk mendirikan rumah mau pun bercocok tanam. Selanjutnya, hunian para prajurit tersebut dikenal sebagai kampung Afrikan. Mereka beranak pinak di kawasan jalan Jendral Sudirman itu serta membaur dengan masyarakat sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun