Ketika pemerintahan kolonial Belanda masih bercokol di Indonesia, ternyata banyak tentaranya yang tergabung dalam pasukan Koninklijk Nederlands-Indisce Leger (KNIL) merupakan orang-orang yang berasal dari daratan Afrika. Markas personil militernya di antaranya ada di kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Agak kesulitan mengendus jejak mereka, berikut catatannya saat merunutnya.
Para prajurit bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam ini, oleh masyarakat Purworejo tempo dulu disebut sebagai londo ireng alias Belanda hitam. Pasalnya, selain berpostur sama dengan bule-bule, mereka juga dianggap memiliki kasta lebih tinggi dibanding kaum pribumi. Maklum, orang-orang tersebut sengaja direkrut dari kawasan Afrika Barat. Mayoritas adalah mantan budak sehingga ketika derajatnya ditingkatkan oleh pemerintahan kolonial, mereka menjadi sosok yang sangat loyal terhadap tuannya.
Cukup sulit untuk merunut jejak para serdadu hitam tersebut, sebab, tidak ada catatan resmi tentang kehadiran mereka di kabupaten Purworejo. Kendati begitu, cerita turun menurun masih banyak diingat oleh orang-orang tua yang usianya di atas 80 tahun. Salah satunya adalah Sudarmo, kakek berusia 90 tahun warga desa Cangkrep itu konon lahir di tahun 1926 sempat menjadi saksi keberadaan londo ireng.
Berdasarkan cerita dari almarhum ayahnya, lanjut Sudarmo, di tahun 1825-1830 saat terjadi peperangan antara Pangeran Diponegoro melawan militer Belanda, pihak Belanda mengalami kerugian besar. Pasalnya, 8.000 personil di pasukannya dinyatakan tewas akibat perang mau pun diterjang penyakit. Paska perang, direkrutlah para budak di Afrika untuk menjadi tentara bayaran. Mereka mulai berdatangan secara bergelombang sejak tahun 1831 hingga 1872.
Arsitek yang mendalangi keberadaan tentara londo ireng ini adalah Gubernur Jendral Van den Bosch yang dikenal sebagai penemu gagasan tanam paksa. Sampai tahun1872, total serdadu berkulit hitam yang bertugas di Indonesia mencapai 3.000 personil yang ditempatkan di Semarang, Salatiga dan Solo. Sementara di Purworejo mendapat jatah pasukan terbesar, yakni tiga kompi.
“Tentara londo ireng ditempatkan di tangsi militer Kedung Kebo,” kata Sudarmo terbata-bata.
Penempatan tiga kompi pasukan londo ireng yang semuanya masih berstatus bujangan di Purworejo ini, lanjut Sudarmo, dimaksudkan untuk memberangus perlawanan sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro yang masih aktif bergerak di daerah kecamatan Bagelen. Para prajurit kulit hitam yang dikenal sangat pemberani, diharapkan mampu membuat ciut nyali anggota laskar.
Pihak pemerintahan kolonial sendiri, sepertinya tak menutup mata atas keberadaan para prajuritnya yang berasal dari Afrika. Karena mayoritas adalah bujangan, tentunya kebutuhan biologisnya juga perlu disalurkan. Untuk itu, ada pembiaran bagi personil militer londo ireng dalam melampiaskan syahwatnya. Mereka banyak yang menjalin hubungan asmara dengan perempuan pribumi hingga melahirkan anak-anak Indo Afrika.