Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompasiana Mirip Penguasa Orde Baru

24 Agustus 2015   02:30 Diperbarui: 24 Agustus 2015   02:30 1193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kompasiana (foto: dok kompasiana.com)"]Tak ada angin tak ada hujan, mendadak Kompasiana membuat kejutan. Artikel- artikel milik Kompasianer yang jumlahnya jutaan, tiba- tiba angka kunjungannya raib tanpa jelas juntrungnya. Kejadian tersebut, jelas menimbulkan kegaduhan berkepanjangan.

Peristiwa naas itu, sebenarnya bukan hanya terjadi sekarang ini. Saat migrasi dari Kompasiana versi lama, jumlah hits seluruh artikel milik para Kompasianer lenyap. Reaksi Kompasianer bisa ditebak, ada yang meradang lewat tulisan mau pun komentar, ada yang protes secara santun dan ada yang pasrah. Kebetulan saya termasuk Kompasianer pasrah. Ibarat kata, suka- suka pengelola Kompasiana sajalah.

Hingga Sabtu tanggal 22 Agustus 2015, Kompasiana yang sebelumnya lancar- lancar saja, mendadak mengulangi ulahnya lagi. Artikel saya tanggal 21 Agustus yang sempat mencapai 113.000 pengunjung dalam tempo 24 jam, tiba- tiba total angka pembacanya melorot drastis tinggal 2.000 an. Celakanya, pas saya menayangkan artikel susulan terkait angka kunjungan 113.000 tersebut. Apes benar nasip saya hari itu.

Kendati kecewa, namun, seperti layaknya Kompasianer pemula lainnya, saya memilih bersikap pasif. Toh, nantinya angka itu akan kembali seperti semula (semoga kembali maksudnya). Hingga hari ini, ternyata angka kunjungan tetap belum menemukan jalan pulang. Entah, mungkin kesasar ke negri antah berantah.

Rekan Kompasiner Mike Reyssent yang biasa saya sapa mbak Mike, merupakan orang pertama yang mengetaui raibnya angka pembaca. Ia menulis jumlah-klik-pembaca-kompasiana-hilang-semua, meski tak sekeras protes- protes sebelumnya, namun, saya merasakan ada nada geregetan di setiap hurufnya. Usai mbak Mike memposting artikel protesnya, giliran rekan mas Yos Mo menulis protes dalam bentuk yang lebih halus (baca : cermin/mereka-tertelan-lubang-hitam). Begitu pun rekan- rekan Kompasianer lain, mereka juga menulis dengan berbagai kemasan.

Susahnya Minta Maaf

Ada sisi menarik atas “masuk anginnya “ Kompasiana, saat error pertama akibat migrasi dari versi lama, meski banyak protes namun pengelola Kompasiana tak juga menunjukkan penyesalan. Begitu juga ketika dua hari lalu kembali “masuk angin”, sama sekali tidak ada permintaan maaf sedikit pun. Baik secara resmi, mau pun melalui komentar.

Sebagai orang yang belum lama mengenal Kompasiana (citizen journalism), saya merasa ada sedikit persamaan antara Kompasiana dengan penguasa orde baru (Orba). Jaman Orba masih Berjaya, sering membuat kesalahan yang mengakibatkan rakyat sengsara dan  kecewa atas beleid yang diterapkan. Tetapi, tak pernah ada kata maaf yang terlontar.Bahkan, kata maaf menjadi komoditi paling mahal harganya waktu itu.

Entah sekedar faktor kebetulan atau memang memiliki karakter yang sama, ternyata saya amati Kompasiana juga sangat susah meminta maaf. Kosa kata maaf ini sepertinya sangat mahal harganya. Sehingga, para Kompasianernya dibiarkan digelayuti berbagai tanya. Padahal, semisal ada kata sedikit maaf saja, hal itu akan terasa cukup melegakan. 

Cukup dikemas dengan dalih bagian IT tengah melakukan perbaikan atau perawatan, pengelola lagi liburan hingga seluruh admin sedang piknik, maka bisa mengobati kekecewaan berjamaah yang melanda mayoritas Kompasianer. Sayang, hal itu tidak dilakukan. Padahal, Kompasiana mampu tumbuh besar berkat pembaca dan Kompasianer, namun entah mengapa keberadaannya kurang diperhitungkan.

Saya tak menyalahkan rekan- rekan Kompasianer belakangan (3-4 bulan terakhir) ini mengalami penurunan gairah menulis. Begitu pun saya juga tak menyalahkan rekan- rekan Kompasianer meninggalkan Kompasiana dan hijrah ke Blog keroyokan lain (kompetitor Kompasiana), bahkan saya sempat melirik beberapa Kompasianer senior telah mulai merintis “menanam” tulisan di “kebun” tetangga. Meski begitu,  saya tak tergiur. Saya tetap merasa nyaman di kompasiana. Salam Kompasiana ! (*)

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun