Seperti galibnya orang desa tempo dulu, namanya sangat sederhana yakni Tumiyem, usianya 87 tahun. Tinggal di dusun Jering RT 12 RW 02, Wates, Simo, kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Di saat umurnya telah uzur, bukan kebahagiaan yang ia peroleh, malah berbagai nestapa menderanya.
Secara fisik, tubuh Tumiyem yang biasa disapa mbah Yem, sudah teramat ringkih.Kurangnya asupan gizi, membuat badannya kurus maklum hidup tanpa penghasilan. Telinganya yang telah dimanfaatkan selama 87 tahun, belakangan kurang berfungsi normal. Untuk berbicara padanya, harus memperbesar volume agar mampu ditangkap oleh indra pendengarannya.
Selayaknya manusia yang hampir mendekati 90 tahun, mbah Yem mulai didera virus kepikunan. Tatapannya kosong, bicaranya tanpa ekpresi apa pun. Melihatnya secara sepintas, orang bakal meyakini bahwa perjalanan hidupnya sarat derita. Kalau boleh disebut satu- satunya keberuntungan yang dimilikinya, ternyata nenek sepuh ini jarang sakit.
“ Kalo saya sakit terus yang merawat Warjiman siapa ? Wong dia tidak bisa apa- apa,” kata mbah Yem dalam bahasa Jawa sembari menunjuk pria berumur 54 tahun yang tergolek tak berdaya di atas bale.
Lantas, siapa laki- laki yang disebut mbah Yem ? Pria tersebut adalah Warjiman, anaknya yang nomor dua, catatan KTP terlahir tahun 1960, namun ketika ditanya ia mengaku berumur 54 tahun. Hal itu tentunya bisa dimaklumi, faktor minimnya pendidikan sangat besar pengaruhnya. Warjiman mengalami gangguan saraf sehingga sejak tahun 1997 menderita kelumpuhan, mulai pinggang sampai kaki tidak mampu digerakkan.
Komplikasi antara kemiskinan dengan penyakit itulah yang membuat Warjiman hanya mampu tergolek di bale sederhana, ditemani radio kecil, ia menghabiskan waktunya di kamar berukuran 2 X 3 meter sepanjang hari. Mulai makan, minum hingga buang air dilakukannya di tempat. Akibatnya, aroma ruangan sempit bisa dibayangkan sendiri.
![Warjiman](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/02/24/3-58aff62b117f61ff07285fff.jpg?t=o&v=770)
Menempati rumah berdinding papan berlantai tanah, bagian belakangnya sudah terlihat banyak lobang. Meski kucing bebas keluar masuk melalui dinding yang keropos, sepertinya binatang – binatang tersebut juga enggan memasukinya. Pasalnya, tak ada sisa makanan yang bisa dikais.
Sudah Melarat Tertipu Pula
Lantas siapa sebenarnya mbah Yem ini ? Kenapa begitu lengkap penderitaannya ? Karena agak susah mengorek kehidupannya, hal harus dimaklumi karena telinganya sudah tak normal lagi. Akhirnya, saya menggali jati diri sosok Tumiyem melalui Syarif (30) yang nota bene merupakan tetangganya. “ Beliau dulunya istri pak Hardjo yang meninggal tahun 2007,” kata Syarif.
Mempunyai lima orang anak, semasa suaminya masih hidup pun, kehidupan ekonominya jauh dari cukup.Karena tak mempunyai sawah atau pun ladang, pak Hardjo hanya bekerja sebagai buruh penggarap milik para tetangganya. Kemiskinan pula yang membuat lima putra putrinya tidak mendapatkan bekal pendidikan yang memadai. Sehingga, anak- anak buah perkawinan mereka bisa dikata kurang mapan kehidupannya.
Salah satu putra mbah Yem, yakni Warjiman beranjak dewasa merantau ke kota Semarang. Dengan bermodalkan tenaga, ia menjadi penarik becak. Hal inilah yang memulai kehidupan janda tua itu semakin terpuruk. Bila sebelumnya anak lakinya kerap membantu ekonomi kendati hanya sedikit, namun di tahun 1996, tiba- tiba dirinya pulang kampung karena ada gangguan pada saraf pinggangnya.