Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kampung di Ujung Aspal itu Bernama Dusun Cuntel

6 April 2016   17:58 Diperbarui: 7 April 2016   02:54 2777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gapura Dusun Cuntel, di sini jalan beraspal berakhir (foto: dok pribadi)"][/caption]Dusun Cuntel yang merupakan salah satu akses bagi pendaki ke Gunung Merbabu, merupakan kampung unik. Termasuk wilayah Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang , tiap saat warganya selalu siap direpoti oleh berbagai kejadian yang menimpa kalangan pendaki. Berikut kunjungan saya ke perkampungan yang benar- benar berada di ujung aspal.

Cuntel, dalam bahasa Jawa artinya buntu atau mentok tiada jalan lagi.  Karena hal tersebutlah dulunya para sesepuh Desa Kopeng memberikan nama Cuntel. Meski begitu, memasuki tahun 1970 an, dibuka jalur setapak untuk naik ke Gunung Merbabu. Dengan dibukanya pintu masuk itu, akhirnya banyak pendaki yang ketagihan memanfaatkannya. Secara keseluruhan, perkampungan yang warganya mayoritas petani sayur ini hidup sangat tenang dan ramah terhadap pendatang.

Terakhir kalinya saya mengunjungi Dusun Cuntel adalah 24 tahun lalu, di mana, saya bersama Wakapolres Salatiga Kompol Ondang Sutarsa (pangkat menjelang purna tugas Irjen Polisi) dan dua orang rekan, tengah melakukan pengecekan tim SAR yang lagi melakukan pencarian jenasah Agung, mahasiswa asal Kota Semarang. Kami berempat sempat naik sejauh 5 kilometer dari base camp, hingga pendakian dihentikan karena pak Ondang menerima berita bahwa tubuh pendaki tersebut telah ditemukan.

[caption caption="Foto tahun 1992 dengan Wakapolres Salatiga dan dua rekan (foto: dok pribadi)"]

[/caption]Rabu (4/6) sore, sekitar pk 15.00 saya bersama mantan kekasih kembali bertandang ke Dusun Cuntel. Ada kerinduan menikmati segarnya udara pegunungan dan hembusan kabut. Hanya memerlukan waktu 15 menit, kami tiba di obyek wisata Kopeng. Selepas lokasi wisata Kopeng, kami menembus hutan pinus yang rapat serta beragam tanaman sayuran. Kanan kiri terlihat hijau, jalan aspal sangat mulus sehingga dalam tempo 5 menit,  kami telah melihat  gapura kampung.

[caption caption="Papan petunjuk yang ada di base camp (foto: dok pribadi)"]

[/caption]Di sinilah jalan aspal habis, tepat di gapura Dusun Cuntel, selanjutnya jalan perkampungan terbuat dari plesteran semen. Sebelum memasuki kawasan yang dihuni sekitar 150 KK tersebut, pengunjung harus melapor ke base camp milik Balai Taman Nasional Gunung Merbabu. Selain registrasi, setiap pengunjung dikenakan biaya sebesar Rp 10.000 dengan rincian Rp 5.000 untuk pendakian dan Rp 5.000 bea memasuki kawasan tersebut.

Kami sempat bertemu dengan puluhan pendaki asal Semarang dan Kudus, mereka menunggu senja untuk memulai pendakian. Karena kami tidak hanya bertandang, tidak akan mendaki, kami tak dipungut bea apa pun. Melalui jalan perkampungan yang terbuat dari plesteran semen, akhirnya kami menelusuri pintu masuk Gunung Merbabu. Melewati tanjakan yang lumayan tajam, akhirnya tiba juga di ketinggian 1890 mdpl ( base camp 1864 mdpl ). Di sini, Kota Salatiga, Rawa Pening dan sekitarnya terlihat sangat kecil, kami berasa di awan.

[caption caption="Base camp di kaki Merbabu (foto: dok pribadi)"]

[/caption]Menjaga Kearifan Lokal

Saat menginjakkan kaki di ujung jalan semen, kami merasakan adanya udara dingin yang menyergap kulit. Maklum, kabut mulai terlihat di seantero Dusun Cuntel. Beberapa warga setempat yang lewat, berulangkali menyapa menggunakan bahwa Jawa halus. Kadang satu dua menyempatkan berhenti sejenak untuk ngobrol, sekedar berbasa basi. Kami melihat ada keramahan yang tulus tanpa membungkus kepentingan apa pun.

Memang, masyarakat Dusun Cuntel ramah terhadap siapa pun, seakan keramahan itu sudah menjadi kearifan lokal yang hukumnya wajib dijaga. Tidak ada egoisme mau pun keserakahan seperti para politisi. Mereka sangat menyadari bahwa kampungnya merupakan teras Gunung Merbabu, sehingga setiap orang boleh bertandang. Sambutan hangat adalah ciri khas yang selalu dipertahankan sejak jaman kolonial. Konon, di era perjuangan, perkampungan ini kerap dijadikan persembunyian oleh pejuang- pejuang yang diburu tentara Belanda.

[caption caption="Pintu masuk ke jalur Gunung Merbabu (foto: dok pribadi)"]

[/caption]Hingga kemerdekaan berhasil diraih, kearifan lokal tetap terjaga sampai sekarang. Banyaknya kalangan pendaki yang saban hari selalu melalui Dusun Cuntel, membuat warga setiap saat harus mau direpoti. Puncak kerepotan akan muncul  ketika terjadi musibah yang menimpa pendaki di Gunung Merbabu, mulai dari menyiapkan Posko, dapur umum hingga menjadi relawan untuk melakukan penyisiran semuanya dikerjakan masyarakat setempat.

Perihal kearifan lokal ini, dibenarkan oleh salah satu pendaki yang ada di base camp. Mahasiswa asal Semarang yang mengaku bernama Agus (20) mengaku sudah 10 kali naik Gunung Merbabu melalui jalur Cuntel. Menurutnya, ada kehangatan pada sikap warga Dusun Cuntel terhadap anak gunung (sebutan bagi pendaki). “ Saya merasakannya sejak pertama kali melakukan pendakian,” jelasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun