Kendati almarhum suaminya ikut berjuang dalam perang kemerdekaan, namun, kondisi Tukinem (80) warga Dusun Rejosari RT 13 RW 3, Desa Medayu, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, sangat memperihatinkan. Hidup sendirian dan makan dari belas kasihan orang. Seperti apa kehidupannya ? Berikut penelusurannya untuk Indonesia.
Keberadaan Tukinem biasa disapa mbah Tukinem, saya ketahui sekitar dua bulan lalu.Di mana, ketika saya blusukan di pedesaan, mendapatkan informasi bahwa di Dusun Rejosari, terdapat seorang janda tua  yang menempati rumah mungil (bantuan bedah rumah RTLH), tanpa fasilitas apa pun (MCK mau pun lampu penerangan). Yang membuat saya makin tertarik, disebutkan bahwa almarhum suaminya merupakan mantan pejuang kemerdekaan.
Tanpa menunggu lebih lama, sembari menenteng paket sembako yang saya beli di toko terdekat, saya pun segera menelusurinya. Tak begitu sulit menemukan rumah mbah Tukinem, kendati berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Salatiga, namun, hanya butuh waktu 30 menit sudah berhasil menemukannya. Sayang, waktu itu tidak bertemu dengan sosok yang saya cari.
Padahal, posisi rumah yang ditempati mbah Tukinem terletak agak jauh dari tetangga. Saat saya melongok ruangan dalam, duh...baunya langsung menyengat hidung. Tumpukan botol -- botol plastik bekas,bercampur makanan busuk membuat puluhan tikus merasa nyaman tinggal bersama nenek itu. Taka da perabot apa pun, satu- satunya yang layak disebut perabot, hanyalah kasur kumal yang warnanya telah pudar.
Tak Tersentuh PKH
Masih menurut warga, dulu mbah Tukinem muda menikah dengan almarhum Slamet Marjuki (meninggal sekitar tahun1992 dalam usia 70 tahun). Siapa Slamet ? Beliau diusia mudanya adalah pejuang kemerdekaan yang kaki kanannya harus diamputasi akibat diterjang peluru tajam tentara Jepang di wilayah Sumatera. Sayang, kendati sudah mengorbankan organ tubuhnya, hingga dirinya meninggal tak pernah mendapatkan tunjangan veteran (Tuvet) seperti galibnya mantan pejuang lainnya.
Makin dibuat penasaran dengan keterangan itu, akhirnya saya memutuskan mencari Asrofi. Alhamdulillah, tanpa kesulitan yang berarti lelaki bersahaja tersebut bisa saya temui. " Memang benar, almarhum bapak dulu ikut berjuang di perang kemerdekaan. Tepatnya pas melawan militer Jepang," tutur Asrofi.
Perihal ibu kandungnya sendiri, Asrofi mengakui dirinya ingin mengajaknya hidup satu rumah. Namun, karena mbah Tukinem sudah mendekati pikun, ia cenderung menolak dan lebih senang hidup sendirian. Saban hari, ibunya keluyuran mencari botol- botol plastik maupun barang rongsokan lainnya. Kalau dapat duit, biasanya dipakai jajan di warung.