Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

GTT Anggota PGRI Gunungkidul Terlunta-Lunta, Tak Ada yang Membela

22 Januari 2017   13:56 Diperbarui: 22 Januari 2017   14:11 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Slamet, anggota DPRD DIY dari Fraksi Golkar. foto dokumen pribadi

Total guru di Gunungkidul mencapai 10 ribu lebih. Tigapuluh persen dintaranya  berstatus sebagai guru tidak tetap atau GTT. Nasib mereka terlunta-lunta, terutama dilihat dari sisi kesejahteraan. PGRI selaku organisasi profesi yang menjadi tempat GTT berlidung, menurut Slamet, S.Pd. MM, tidak terlihat melalukan advokasi / pembelaan.

Ketua PGRI Gunungkidul, Bahron Rosyid mengakui, bahwa anggotanya sampai dengan tahun 2017 awal, berjumlah 10.910 orang. Tetapi dia tidak merinci soal jumlah GTT yang masuk di dalam organisasi yang dikendalikannya.

Mengutip data di dalam dokumen APBD tahun 2016, anggota DPRD DIY dari fraksi Gokar Slamet, S.Pd. MM menemukan angka GTT anggota PGRI mencapai 30%.

“Saya menemukan 3.000 lebih GTT aggota PGRI yang nasibnya masih terbilang kurang mujur. Artinya, mereka masih menunggu antrian panjang yang tidak jelas, kapan mereka diangangkat menjadi calon pegawai negri sipil (CPNS),” ujar Slamet Minggu 22/1/2017.

Menurut Slamet, para GTT tersebut makin terlunta-lunta menyusul adanya isu pungutan Rp 25.000 dengan alasan untuk biaya mengawal revisi UU Aparat Sipil Negara (ASN) yang menuai pro kontra di antara mereka.

Disayangkan institusi PGRI selaku organisasi tempat para GTT itu berlindung tidak melakukan tindakan perlindungan.

Sementara salah satu tujuan didirikannya PGRI adalah menjaga, memelihara, membela serta meningkatkan harkat dan martabat guru melalui peningkatan kesejahteraan anggota serta kesetiakawanan organisasi,” tegas mantan guru honorer ini  mengutip tujuan PGRI.

Slamet memperkirakan, nasib GTT anggota PGRI tidak akan  berubah selama pipmpinan organisasi profesi itu dipegang bukan oleh guru, tetapi oleh pejabat struktural. Menurutnya, pejabat menjadi pengendali PGRI tidak memberi manfaat apapun kepada anggotanya.

“Mereka tidak akan memperjuangkan nasib GTT yang menjadi anggotanya, karena mereka sudah tidak lapar lagi,” ujarnya ketus.

Terlebih, menurut politisi Golkar asal Kecamatan Nglipar ini, Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negri Sipil Pasal  8, membuat Pemerintah Daerah tak bisa berbuat banyak.

Dalam Pasal 8 dinyatakan, Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun