Kami dilahirkan sebagai penonton demokrasi. Di sana kami lihat ada pesta sekaligus pertikaian.
Kami tidak punya kepentingan  kekuasaan, karena kekuasaan adalah milik sebagian kaum penganggur yang menginginkan kerja ringan, kerja sekejap, dengan gaji melebihi keperluan hidup seribu tahun.
Kami adalah si jelata yang lima tahun sekali disapa oleh para pegulat dengan berbagai keramahan semu.
Kami bukan siapa-siapa. Kami bukan apa-apa. Kami hanyalah pengembara yang di mata para petarung tidak lebih dari sepantun piring dan gelas, yang lapar sekaligus dahaga.
Mereka anggap kami  butuh sesuap dan seteguk kehidupan. Padahal sudah lama kami berpuasa untuk menemukan rasa kenyang.
Kami lihat mereka tidak berhenti merajuk. Kami lihat mereka tidak mengerti makna kuyup, meski lima tahun kehujanan.
Kami berbeda dengan mereka. Kami adalah musyafir yang meraba kematian dengan mengidupkan hati. Mereka adalah pejuang yang mgendarai kehidupan dengan dada yang mati.
Seperti rel kereta, sealur namun tidak pernah ketemu. Bagi kami: bulan, bintang dan matahari adalah ilmu. Bagi mereka, ketiganya adalah kegelapan.
Jalur kanan berujung kanan, jalur kiri kiri berujung kiri. Bersatu itu mustahil, bersama itu adalah kenyataan.Â
Kami selalu mengdengarkan desir angin di pucuk cemara sebagai musik yang menggetarkan paru-paru. Mereka mengejanya sebagai ancaman yang harus dibayar dengan mesin peringatan dini.