Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisiku Lahir di Gegap Gempita Demokrasi

23 Januari 2019   22:22 Diperbarui: 23 Januari 2019   22:38 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto, koleksi pribadi

Kami dilahirkan sebagai penonton demokrasi. Di sana kami lihat ada pesta sekaligus pertikaian.
Kami tidak punya kepentingan  kekuasaan, karena kekuasaan adalah milik sebagian kaum penganggur yang menginginkan kerja ringan, kerja sekejap, dengan gaji melebihi keperluan hidup seribu tahun.
Kami adalah si jelata yang lima tahun sekali disapa oleh para pegulat dengan berbagai keramahan semu.
Kami bukan siapa-siapa. Kami bukan apa-apa. Kami hanyalah pengembara yang di mata para petarung tidak lebih dari sepantun piring dan gelas, yang lapar sekaligus dahaga.
Mereka anggap kami  butuh sesuap dan seteguk kehidupan. Padahal sudah lama kami berpuasa untuk menemukan rasa kenyang.
Kami lihat mereka tidak berhenti merajuk. Kami lihat mereka tidak mengerti makna kuyup, meski lima tahun kehujanan.
Kami berbeda dengan mereka. Kami adalah musyafir yang meraba kematian dengan mengidupkan hati. Mereka adalah pejuang yang mgendarai kehidupan dengan dada yang mati.
Seperti rel kereta, sealur namun tidak pernah ketemu. Bagi kami: bulan, bintang dan matahari adalah ilmu. Bagi mereka, ketiganya adalah kegelapan.
Jalur kanan berujung kanan, jalur kiri kiri berujung kiri. Bersatu itu mustahil, bersama itu adalah kenyataan. 
Kami selalu mengdengarkan desir angin di pucuk cemara sebagai musik yang menggetarkan paru-paru. Mereka mengejanya sebagai ancaman yang harus dibayar dengan mesin peringatan dini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun