Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hancurnya Pelacuran, Sebuah Fakta Semu

1 Maret 2016   07:38 Diperbarui: 1 Maret 2016   07:55 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Fenomena klasik prostitusi. Ft Suseno Adi"][/caption]Prestestasi penguasa di masa Kabinet Kerja, terkait dengan pembangunan karaker bangsa, dimulai dari DKI. Negara, dalam hal ini Gubernur, sebagai tangan panjang Presiden hadir  melindungi (menyelamatkan) segenap warga.

Tetapi ada catatan kecil, bahwa terkait dengan kumuhnya moral di Kali Jodo,  kehadiran negara terkesan mendadak alias tanpa rencana.

Faktanya, jabatan Ahok telah berumur 13 bulan dihitung dari 19/11/2014 saat dia dilantik menjadi Gubernur DKI. Setahun lebih di masa pemerintahan Ahok, Kali Jodo dibiarkan merdeka, dalam arti tak disentuh, meski Risma pada masa SBY berkuasa telah mempelopori menutup paksa Gang Dolly di Surabaya. Begitu pula Silir sarang prostitusi di Kota Bengawan, yang ditutup pada masa kekuasaan walikota Jokowi.

Saya tidak memprofokasi, tetapi masyarakat DKI harus siuman, bahwa Ahok sebenarnya tidak punya konsep atau rencana melibas  Kali Jodo. Sepak terjang Ahok itu sepontan, akrobatik, bahkan nyaris menjadi improvisasi politik, karena disulut tragedi Fortuner merenggut 4 nyawa.

Pembongkaran yang membawa resiko membengkaknya anggaran belanja DKI dipastikan tidak ada dalam dokumen pemerintahannya. Kalaupun ada, saya yakin Ahok kong-kalikong dengan DPRD untuk menyusupkan anggaran itu dalam ABT.

Dalam hal ini, warga DKI tidak jeli. Masyarakat tidak pernah mencermati biaya besar yang dipergunakan Ahok untuk membereskan Kali Jodo, yang amat sangat rawan KKN.

Robohnya Kali Jodo, perlu dicermati secara lebih holistik. Sepak terjang Ahok dengan gaya 'brandal intelektual' patut diwaspadai. DPRD DKI memiliki kewenangan untuk itu, bukan malah ikut-ikutan gaduh meributkan pembongkaran Kali Jodo.

Sisi lain, kasus DKI dengan Kali Jodo yang menggegerkan itu bisa dijadikan pintu masuk untuk daerah lain.

Sebelum terjadi perubahan, negeri ini terdiri atas 34 propinsi, 98 kota, 410 kabupaten. Terkait benang merah dengan Kali Jodo, siapkah Gubernur, Walikota dan Bupati mengikuti jejak DKI?

Saya berprasangka baik, tidak semua daerah ada sarang prostitusi. Tetapi tidak bisa di sangkal, Yogyakarta sebagai kota budaya realitasnya memiliki Sarkem (Pasar Kembang). Jawa Tengah, di Semarang ada Sunan Kuning. Juga di Bandung ada Saritem.

Pertanyaan sederhana, beranikah Gubernur atau walikota merencanakan pembubaran tempat serupa Kali Jodo? Ini fakta sekaligus teka-teki manakala dihubungkan dengan tekad Negara hendak  hadir menyelamatkan peradaban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun