Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Penulis Buku dalam Masa "Kelaziman Baru"

19 Mei 2020   23:35 Diperbarui: 21 Mei 2020   10:37 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soliter tentu tidak identik dengan intover. Meskipun awalnya menyendiri, seorang penulis memublikasikan gagasannya (pikiran dan perasaan) kepada orang banyak. 

Memang aktivitas menulis buku memerlukan ketenangan dan kesendirian. Jadi, penulis buku itu sudah lazim melakukan perenggangan demi perenggangan seperti berikut ini.

  1. Kalau disebut ia melakukan perenggangan sosial (social distancing) itu sudah sering dilakukannya. Seberapa riuhnya obrolan di kafe atau di tempat kerjanya, ia takkan melayani obrolan atau pertanyaan saat menulis. Ia menjadi antisosial dalam keadaan tertentu. Bahkan, ia memilih menulis saat orang lain tertidur dan memilih tidur saat orang lain terjaga.
  2. Kalau disebut ia melakukan perenggangan fisik (physical distancing), tentu apalagi. Penulis tidak akan memilih dekat-dekat orang lain saat menulis karena bakal sulit mengetik dan mengganggu konsentrasinya. Ketika hendak menulis di restoran kereta api, saya berusaha memilih tempat yang tidak berhadapan dengan orang lain--meskipun sebenarnya dilarang bekerja di kereta api. 
  3. Nah, ini istilah baru yaitu perenggangan suasana (atmosphere distancing). Hahaha ini istilah saya saja. Jadi, penulis itu seberapa pun ingar bingarnya suasana di tempat ia menulis, ia sudah melakukan perenggangan perasaan dan pikirannya untuk tidak terlibat dengan suasana. Ini sebuah keunikan tersendiri. Ada juga fakta seorang penulis yang tiba-tiba undur diri dari media sosial, kemungkinan memang ia sedang menulis buku yang memerlukan konsentrasi tinggi. Tapi, ada juga kemungkinan ia lagi terbelit masalah sehingga tidak mampu menulis lagi di media sosial.
  4. Satu lagi, penulis tidak ada masalah apakah disuruh menulis dari rumah, dari kantor, dari hotel, atau dari tadi. Ya, waktu dan tempat menulis tak menjadi masalah bagi seorang penulis profesional. Kalau saya berkilah, menulis itu dari hati dan pikiran. Jadi, yang namanya hati dan pikiran itu selalu ada bersama diri saya sehingga tidak masalah kapan pun dan di mana pun saya dapat menulis. Namun, jika dibandingkan karantina, penulis sering juga melakukannya dengan "mengarantina" dirinya untuk menyelesaikan suatu proyek penulisan. Berinteraksi hanya untuk makan dan minum.

Jika pun ada kelaziman baru yang dimasuki penulis buku, ia tak lagi dapat bertemu pembacanya secara fisik dalam acara peluncuran buku dan bedah buku. Acara-acara itu tergantikan dengan pertemuan daring menggunakan aplikasi konferensi video. 

Untungnya, acara itu dapat dihadiri siapa pun tanpa batasan ruang. Demikian pula pameran-pameran buku yang sering menghadirkan sosoknya, kini tergantikan dengan kegiatan secara daring.

Beberapa penerbit menunda pencetakan buku sehingga yang ditawarkan buku diterbitkan dulu secara elektronik. Sang penulis buku pun harus menerima bukunya tak lagi dapat dipegang dan ditimang-timang. 

Buku elektronik diterbitkan lebih dulu daripada buku cetak menjadi sebuah kelaziman baru yang harus diterima para penulis buku, terutama di Indonesia--meskipun bagi beberapa orang ini juga sudah dilakukan pada masa sebelumnya.

Kelaziman baru yang paling mengharukan bagi para penulis buku mungkin, mungkin ini ya, royalti tak lagi selancar atau sebesar masa sebelum corona. Tapi, yang satu ini tidak boleh mematahkan semangat untuk menulis buku. 

Penulis dapat membantu penerbit menjual bukunya sendiri--ini sih bukan kelaziman baru karena dari dulu juga penulis diminta membantu penjualan buku.

Tetap Berkarya Saat Corona

Ini bukan kelaziman baru, melainkan tren yang sudah dapat ditebak yaitu munculnya buku-buku bertajuk corona. Itulah penulis buku, apa pun yang terjadi menyangkut peristiwa, fenomena, dan momentum bakal terbit dalam bentuk buku. Dengan keistimewaannya melakukan perenggangan sejak lama maka penulis sudah mampu beradaptasi pada zaman corona ini.

Ia malah punya kesempatan menyendiri lebih lama lagi untuk menghasilkan karya-karya baru yang berpengaruh, tak harus tentang corona. Jadi, tidak perlu distimulus, para penulis buku itu sudah pasti dengan instingnya akan menulis dan menulis. 

Jika distimulus, apakah itu dengan iming-iming uang atau hadiah wisata dan umroh, tentu penulis bakal menggebu lagi menulis dalam kesendiriannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun