Penulisan sebuah biografi dapat bernilai paling kecil Rp50 juta satu biografi dan dapat bertambah berkali-kali lipat hingga bernilai ratusan juta rupiah. Demikian pula buku-buku lain, seperti buku sejarah perusahaan atau momentum tertentu dari lembaga. Mereka yang menekuni pekerjaan semacam ini pasti sudah memiliki jadwal yang ketat setiap tahunnya untuk menulis.
Sosok penulis spesialis biografi seperti Alberthiene Endah lebih banyak bekerja secara solo dan bekerja pula secara "sunyi" tanpa perlu ingar bingar terhadap profesinya. Ia menulis biografi beragam tokoh penting di negeri ini. Ia cukup hidup dari sana.
Ini yang disebut William Zinsser, penulis kawakan asal AS, Â bahwa penulis itu sejatinya makhluk soliter---senang menyendiri. Namun, jika ada penulis buku yang terlalu sering berkoar-koar soal profesi dan karyanya, mungkin itu sejenis anomali.
***
Sosok seorang writerpreneur yang bekerja secara terorganisasi dapat kita lihat pada diri Hermawan Kartajaya dan Rhenald Kasali. Kedua tokoh ini rutin menghasilkan buku dengan isu-isu terkini. Hermawan fokus pada isu marketing, sedangkan Rhenald fokus pada isu-isu manajemen perubahan dan pengembangan diri. Mereka memiliki tim riset di belakangnya yang memasok data dan fakta seputar isu yang dibahas.Â
Walaupun begitu, menulis buku memang bukan pekerjaan utama para beliau itu. Namun, buku jelas mengukuhkan sosok mereka sebagai tokoh intelektual di bidangnya masing-masing. Mereka dikagumi dan dihormati karena butiran pemikirannya di dalam buku.
***
Cabang lain yang temasuk konvensional seperti dilakukan oleh Marthen Kanginan adalah menulis buku untuk diterbitkan di penerbit mayor. Penghasilan utama disandarkan pada royalti. Nilai royalti yang benar-benar berpengaruh hanya mungkin teraih jika buku yang dihasilkan termasuk kategori sangat laris (best seller) dan sang penulis sendiri sangat produktif.Â
Performa semacam ini diperlihatkan oleh seorang Tere Liye. Meskipun belakangan Tere Liye alias Darwis mengaku ia merekrut juga co-author, ia memang tampak merencanakan novel-novelnya sedemikian rupa. Untuk memproduksi begitu banyak judul maka buku dibuat seolah secara "serial" terlihat dari judul-judul yang mengelompok pada satu kata misalnya benda angkasa: bumi, matahari, bulan, bintang, komet.Â
Dengan royalti yang mungkin sampai miliaran rupiah, Tere Liye memang dapat membentuk sebuah tim sebagai book packager (perajin buku) yang memproduksi buku siap terbit. Kehebatan Tere Liye ini dalam hal produktivitas terlihat tak dapat diimbangi penulis lain. Mungkin kalau mau disebut yang menguntit di belakangnya adalah Risa Saraswati dengan serial novel horornya.
***