Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Apakah Penulis Buku Itu Profesi?

7 Oktober 2019   18:33 Diperbarui: 7 Oktober 2019   20:45 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Bambang Trim/Istimewa

Bagi petugas bank, petugas asuransi, atau juga petugas kelurahan yang membantu pembuatan KTP, pekerjaan sebagai penulis buku itu mungkin agak aneh. Pasalnya menurut orang awam menulis buku itu bukan pekerjaan tetap atau lebih sebagai pekerjaan sampingan. Hal yang lebih ekstrem lagi bahwa pekerjaan menulis buku tidak dapat dijadikan sandaran hidup.

Pertanyaan sesungguhnya yang masih menggelayuti benak para penulis sendiri adalah apakah benar menulis buku itu dapat dijadikan sandaran hidup. Sebenarnya ada percabangan dari hal ini karena tujuan orang menulis itu berbeda-beda. Ada yang sekadar menulis dan menjadikannya sebagai hobi belaka. Ada yang menulis untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya, tidak terpikir mengapitalisasinya atau bahasa kerennya monetisasi.

Cabang yang termasuk paling sering ditekuni oleh para penulis buku adalah menjadikan menulis buku sebagai batu pijakan untuk karier mereka. Posisi ini biasanya digiatkan oleh para guru dan dosen yang memang harus menghasilkan publikasi berupa buku. Para guru dan dosen menulis buku sebagai bentuk pengakuan terhadap karier mereka di dunia buku. Mereka umumnya belum berpikir menghasilkan uang dari buku.

Di samping para guru atau dosen, ada juga anak-anak muda yang menjadikan menulis buku sebagai debut karier mereka, sebelum akhirnya menjadi selebritas. Contoh nyata dari hal ini adalah Raditya Dika yang sebelumnya dikenal sebagai narablog (bloger). Raditya kemudian berkembang kariernya menjadi host acara televisi, komika, dan bintang film. Ia juga kemudian dikenal sebagai youtuber.

Kekayaan dari efek samping buku itu menjadi berlipat ganda setelah menjadi selebritas. Menulis buku pun lambat laun kurang ditekuni lagi.

***

Cabang menulis buku sebagai pekerjaan karyawan tampaknya tidak banyak ditekuni. Apakah memang ada penerbit yang merekrut karyawan untuk menulis buku? Ada, tetapi tidak banyak. Biasanya yang merekrut ini adalah penerbit buku di jalur pendidikan yaitu penerbit buku pelajaran dan buku pengayaan (sering juga disebut buku nonteks).

Sewaktu ada acara Bimtek Penulisan Buku Nonteks di Surabaya September lalu, saya bertemu seseorang yang menekuni karier sebagai penulis buku pelajaran di beberapa penerbit. Namun, beliau bekerja sendiri (self-employee) bukan sebagai karyawan. 

Nama beliau adalah Marthen Kanginan, spesialis menulis buku fisika dan terkadang matematika untuk SMP dan SMA. Pak Marthen dapat menikmati penghasilan yang tinggi dari royalti buku-bukunya. Ia benar-benar menekuni penulisan buku sebagai profesi.

***

Cabang menulis buku sebagai usaha writerpreneur boleh disebut juga hanya ditekuni oleh orang-orang tertentu. Writerpreneur di sini ada yang dijalankan secara solo (seorang diri) dan ada yang dijalankan sebagai sebuah badan usaha. Rantingnya banyak. Ada yang menjadi ghost writer, self-publisher, co-writer, co-author, publishing service, dan book packager. Honor dari profesi writerpreneur seperti ini tidak dapat dikatakan kecil.

Penulisan sebuah biografi dapat bernilai paling kecil Rp50 juta satu biografi dan dapat bertambah berkali-kali lipat hingga bernilai ratusan juta rupiah. Demikian pula buku-buku lain, seperti buku sejarah perusahaan atau momentum tertentu dari lembaga. Mereka yang menekuni pekerjaan semacam ini pasti sudah memiliki jadwal yang ketat setiap tahunnya untuk menulis.

Sosok penulis spesialis biografi seperti Alberthiene Endah lebih banyak bekerja secara solo dan bekerja pula secara "sunyi" tanpa perlu ingar bingar terhadap profesinya. Ia menulis biografi beragam tokoh penting di negeri ini. Ia cukup hidup dari sana.

Ini yang disebut William Zinsser, penulis kawakan asal AS,  bahwa penulis itu sejatinya makhluk soliter---senang menyendiri. Namun, jika ada penulis buku yang terlalu sering berkoar-koar soal profesi dan karyanya, mungkin itu sejenis anomali.

***

Sosok seorang writerpreneur yang bekerja secara terorganisasi dapat kita lihat pada diri Hermawan Kartajaya dan Rhenald Kasali. Kedua tokoh ini rutin menghasilkan buku dengan isu-isu terkini. Hermawan fokus pada isu marketing, sedangkan Rhenald fokus pada isu-isu manajemen perubahan dan pengembangan diri. Mereka memiliki tim riset di belakangnya yang memasok data dan fakta seputar isu yang dibahas. 

Walaupun begitu, menulis buku memang bukan pekerjaan utama para beliau itu. Namun, buku jelas mengukuhkan sosok mereka sebagai tokoh intelektual di bidangnya masing-masing. Mereka dikagumi dan dihormati karena butiran pemikirannya di dalam buku.

***

Cabang lain yang temasuk konvensional seperti dilakukan oleh Marthen Kanginan adalah menulis buku untuk diterbitkan di penerbit mayor. Penghasilan utama disandarkan pada royalti. Nilai royalti yang benar-benar berpengaruh hanya mungkin teraih jika buku yang dihasilkan termasuk kategori sangat laris (best seller) dan sang penulis sendiri sangat produktif. 

Performa semacam ini diperlihatkan oleh seorang Tere Liye. Meskipun belakangan Tere Liye alias Darwis mengaku ia merekrut juga co-author, ia memang tampak merencanakan novel-novelnya sedemikian rupa. Untuk memproduksi begitu banyak judul maka buku dibuat seolah secara "serial" terlihat dari judul-judul yang mengelompok pada satu kata misalnya benda angkasa: bumi, matahari, bulan, bintang, komet. 

Dengan royalti yang mungkin sampai miliaran rupiah, Tere Liye memang dapat membentuk sebuah tim sebagai book packager (perajin buku) yang memproduksi buku siap terbit. Kehebatan Tere Liye ini dalam hal produktivitas terlihat tak dapat diimbangi penulis lain. Mungkin kalau mau disebut yang menguntit di belakangnya adalah Risa Saraswati dengan serial novel horornya.

***

Suatu kali saya bertemu dengan Tung Desem Waringin pada sesi pelatihan beliau. Saya memperkenalkan diri sebagai direktur MQS Publishing---penerbit di bawah MQ Corp milik Aa Gym. Pak Tung mengaku saat menulis buku Financial Revolution, ia menerima royalti yang dibayar di muka. Buku itu laku sebelum benar-benar terbit. Kelak pola ini juga banyak ditiru para penulis dengan menjual buku secara indent.

Pak Tung berkata royalti itu adalah passive income, namun yang bakal membuat seorang penulis buku lebih kaya lagi adalah faktor kali di balik kesuksesan bukunya. Faktor kali itu adalah undangan sebagai pembicara terkait bukunya, sebagai pelatih atau konsultan, atau bukunya difilmkan. Memang faktor kali ini banyak terjadi pada beberapa orang, buku menjadi batu pijakan untuk melentingkan karier.

Lalu, mengapa penulis buku belum diakui benar sebagai profesi di negeri ini? Ya itu tadi kebanyak awam menganggap menulis buku itu dapat dilakukan siapa pun dan bukan pekerjaan yang memiliki nilai. Beberapa orang yang ingin menggunakan jasa para penulis buku sering kali terkaget-kaget ketika diberi tahu harga yang harus mereka bayar. Mungkin sama, mereka menganggap menulis buku itu pekerjaan gampang dan dapat dilakukan tanpa usaha berarti.

***

Mari kita selsik dulu apa yang disebut profesi itu. Kalau merujuk pada definisi KBBI, profesi bermakna "bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Dalam suatu pertemuan tentang SKKNI dan Peta Okupasi, narasumber menyebutkan ada tiga syarat yang harus dipenuhi bahwa sesuatu itu disebut profesi.

Pertama, profesi itu memiliki standar, baik standar proses maupun standar hasil dalam melaksanakannya. Standar adalah ukuran minimal yang harus dipenuhi dan ia dapat berupa angka-angka atau jumlah tertentu.

Kedua, profesi memerlukan ilmu dan keterampilan untuk melakukannya. Dengan kata lain, ilmu dan keterampilan tersebut harus dapat diajarkan dan dilatihkan. Ada semacam sistem yang dapat diterapkan secara berjenjang.

Ketiga, profesi itu dihargai dengan tarif atau honor tertentu.

Jadi, sudah dapat disimpulkan bahwa penulis buku itu profesi karena memenuhi ketiga syarat itu. Langkah yang saya rintis mendirikan lembaga sertifikasi profesi (LSP) penulis buku adalah salah satu cara mendapatkan pengakuan tersebut bahwa penulis buku adalah profesi yang harus dihargai di negeri ini. Jadi, jangan ada lagi yang merasa aneh begitu saya menyebutkan profesi sebagai penulis buku.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun