Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sampai Kapan Mau Bercanda dengan Bencana?

20 Juni 2018   17:40 Diperbarui: 21 Juni 2018   00:38 2400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penumpang KM Sinar Bangun yang selamat dan sempat mendapatkan perawatan (kiri) dibantu anggota keluarganya saat tiba di posko Pelabuhan Tigaras, Danau Toba, Simalungun, Sumatera Utara, Selasa (19/6/2018). (ANTARA FOTO/LAZUARDY FAHMI)

Istri saya mengingat kembali kejadian beberapa tahun silam saat saya  bersamanya mengunjungi Pulau Samosir di Danau Toba. Kami menumpang  sebuah kapal motor dengan penumpang yang tidak terlalu padat.

Namun, pulangnya ia merasa cemas ketika kapal melaju tidak normal, sementara penumpang lebih padat dari sebelumnya. Ia semakin ketakutan karena cuaca tiba-tiba berubah ekstrem menjadi berkabut, angin bertiup kencang, dan para penumpang pun terdiam dalam suasana mencekam. Untunglah kami selamat kembali ke Kota Prapat.

Ingatan  itu membekas ketika saya mengabarinya tentang berita musibah KM Sinar Bangun di Danau Toba. Sekira 186 orang penumpang tanpa manifes yang  jelas menjadi korban dan masih dalam pencarian. Musibah ini tentu mencoreng prestasi Kementerian Perhubungan yang sempat mengklaim tingkat  kecelakaan mudik lebaran tahun ini menurun.  

Satu kejadian yang  mirip sebelumnya juga terjadi di Makassar pada kapal motor layar (KM  Arista). Kapal motor biasa melayani angkutan antarpulau kecil di Makassar. Namun, KM Arista dikabarkan kapal milik pribadi, bukan untuk melayani penumpang umum.  Dugaan penyebab tenggelamnya kapal selain karena kelebihan muatan juga  karena hantaman angin (faktor cuaca). Banyaknya korban 13 orang tewas  dari 35 penumpang disebabkan tidak adanya pelampung yang disediakan untuk keadaan darurat.

Begitu pula yang ditengarai  pada musibah KM Sinar Bangun. Kapal kelebihan muatan sehingga ketika cuaca berubah ekstrem, tali kendali putus. Tambahan lagi, kapal tidak menyediakan pelampung penyelamat. Seperti yang  diberitakan, BMKG telah memberikan peringatan dini secara lokal pada hari kejadian yaitu pukul 12.00 dan pukul 14.00. 

Ada  perubahan cuaca signifikan di wilayah Samosir. Kecepatan angin yang  semua 2-3 meter per detik, pada pukul 17.00 meningkat menjadi 6 meter per detik. Kecepatan angin itu dapat memicu tinggi gelombang 1 1/4  meter. Itulah penjelasan Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Mulyono R.  Prabowo di Studio Mini BMKG, Kemayoran, Jakarta Pusat seperti dikutip  Detik.com. 

Entahlah mengapa dengan peringatan dini ini kapal tidak dicegah berlayar. Jadi, dugaan penyebab KM Sinar Bangun mengalami  kecelakaan adalah tali kendali putus saat ombak tinggi menghantam dan juga karena beban kapal sudah melebihi kepatutan. Sesuatu yang disebutkan biasa terjadi di sana: menaikkan penumpang ke kapal seperti menaikkan penumpang ke angkot atau bus. Kapal pun hanya dilengkapi alat penyelamat berupa ban dalam mobil yang jumlahnya asal ada, jarang yang benar-benar menyediakan jaket/pelampung penyelamat.

Foto: Christopher Sardegna dalam Unsplash
Foto: Christopher Sardegna dalam Unsplash

"Bercanda" dengan Bencana Alam

Rentetan  kejadian ini menunjukkan masyarakat kita juga sering "bercanda" dengan  bencana tanpa berusaha mengantisipasinya. Soal bencana yang mengancam  Indonesia ini pula sempat saya bincangkan dengan Bapak Andi Eka Sakya  yang baru saja mengakhiri tugasnya sebagai Kepala BMKG. Beliau menjadi  "tamu" istimewa saya saat berkunjung ke Institut Penulis Indonesia untuk  mengikuti privat menulis buku.

Saya beruntung menyimak penjelasan  Pak Andi tentang rencana naskahnya terkait potensi bencana di Indonesia  dan upaya-upaya antisipasi yang harus dilakukan. Tahun krusial  Indonesia harus bersiap menghadapi bencana adalah tahun 2025, berdasarkan siklus bencana dan seiring dengan  makin bertambah parahnya perubahan iklim yang dipicu pemanasan global. Di samping itu, Indonesia dikenal sebagai wilayah yang berada pada kawasan cincin api Pasifik dengan ratusan gunung berapi aktif yang sewaktu-waktu dapat meletus.

Fakta ini adalah hal yang harus kita hadapi tanpa maksud menakut-nakuti. Di ponsel saya kini terinstal aplikasi pemantau cuaca buatan BMKG yang rutin memberi info peringatan dini di berbagai wilayah Indonesia. Beberapa hari ini saya melihat informasi peringatan dini gempa di Kepulauan Mentawai beberapa kali. 

Di lemari buku saya terkoleksi empat buku tentang bencana di samping beberapa edisi dari National Geographic karena saya juga tertarik dengan wacana ini:

  1. Gempa Bumi: Ciri dan Cara Menanggulanginya, karya Tim Relawan Gitanagari, diterbitkan oleh Gitanagari, 2006;
  2. Gempa Bumi: Penjelasan Ilmiah dan Sederhana, karya L. Don & Florence Leet, diterbitkan oleh Kreasi Wacana, 2006;
  3. Bersahabat dengan Ancaman: Buku Bantu Pendidikan Pengelolaan Bencana untuk Anak Usia Sekolah Dasar, diterbitkan Grasindo, 2007; dan
  4. Bencana Mengancam Indonesia: Laporan Khusus Kompas, diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, 2011.

Buku terakhir sangat menarik bagi saya karena merupakan kumpulan tulisan tentang bencana yang mengancam Indonesia, termasuk dari sudut pandang politik dan hukum. Ya, beberapa pengabaian terhadap potensi bencana dimulai dari pelanggaran hukum seperti yang terjadi pada musibah kapal motor di atas. Sementara itu, hiruk pikuk politik makin menggila menjelang 2019. Bencana kerap luput diantisipasi, tetapi lebih rancak dipolitisasi.

Menyambung perbincangan dengan Pak Andi, beliau juga menyoroti teknologi infrastruktur kita. Kebanyakan kasus tingginya angka korban bencana adalah karena mereka yang terpapar bencana tidak sempat melarikan diri atau menyelamatkan diri, lalu terbunuh. Contohnya, saat gempa bumi korban tertimpa bangunan yang roboh. Tidak seperti Jepang, bangunan-bangunan di Indonesia banyak yang rentan terhadap bencana, terutama gempa bumi. 

Maka dari itu, infrastruktur yang tengah giat dibangun pemerintah semestinya memperhatikan faktor potensi ini, apalagi memasuki tahun-tahun krusial seperti 2025 atau 2030. Sebuah buku menarik yang juga saya koleksi berjudul 2030: Teknologi yang akan Mengubah Dunia yang ditulis oleh Rutger Van Santen dan Djan Khoe juga mengungkap prediksi kesiapan dunia mengantipasi potensi bencana pada tahun 2030.

"Bercanda" dengan Bencana Politik

Para pemimpin politik kita memang tengah sibuk menjelang 2019. Bencana alam yang terjadi saat salah seorangnya memimpin kadang dianggap sebagai ujian kepemimpinan mereka soal tanggap darurat. Padahal, ujian kepemimpinan di Indonesia, siapa pun pemimpinnya, dimulai pada pencegahan (mitigasi), kesiapsiagaan, dan peringatan dini. Untuk hal ini kita sangat memerlukan teknologi canggih.

Namun, para politikus tampaknya lebih sibuk saling mengkritik. Kritik dibalas sindiran; sindiran dibalas kritik, demikian terus dengan wacana berganti-ganti. Mereka bilang jangan baper, tetapi mereka sendiri superbaper. Sampai kemudian yang kita takutkan adalah terjadi bencana politik 2019 sehingga dampaknya yang menakutkan adalah bencana perpecahan bangsa. Itu sebabnya PR kita sebagai bangsa tidak selesai-selesai sehingga boro-boro kita mau tampil di pentas dunia, apalagi mengantisipasi bencana alam yang sangat mengancam ini.

Kita terbawa makin asyik masyuk bercanda dengan bencana politik. Kecepatan angin perpecahan tidak kita sadari terus bertambah, lalu mengolengkan kapal induk bernama Indonesia. Pada saat itu, nanti ada saja orang yang menyelamatkan dirinya masing-masing. Masihkah kita mau bercanda dengan bencana?

Sekali lagi tahun 2025 adalah tahun krusial. Dengan demikian, siapa pun yang terpilih sebagai presiden RI tahun 2019 haruslah tokoh yang mampu mempersiapkan fondasi antisipasi bencana hingga 2024.

***

Saya mengambil satu kesimpulan lagi bahwa yang mampu menghentikan sikap kita yang abai, bahkan cenderung seperti "bercanda" dengan bencana adalah kepemimpinan nasional yang kuat dan tangguh.

Sosok yang dengan kekuatannya mampu mencegah kerusakan lebih parah terhadap Sungai Citarum di Jawa Barat adalah Presiden. Begitulah pula kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan, bukan Menteri Lingkungan Hidup atau Menteri PUPR. Sosok yang mampu membuat BMKG, BPPT, LIPI, BNPB, dan lainnya lebih berdaya dalam menyiapkan teknologi pencegahan, peringatan dini, dan penanganan bencana secara tangguh dan andal adalah pemimpin bangsa yang kuat.

Karena itu, tidaklah dapat dinafikan program kerja presiden masa mendatang yang sangat penting adalah menyiapkan bangsa Indonesia untuk menghadapi bencana. Bencana itu sudah takdir, tetapi antisipasinya adalah sebentuk ikhtiar yang membuat kita terus berpikir, berkarya, dan bertindak. Jangan lagi kita menyajikan bencana sebagai topik layaknya stand-up comedy di panggung-panggung kampanye.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun