Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salah Paham tentang "Plagiarism Checker"

16 April 2018   22:19 Diperbarui: 17 April 2018   14:46 21204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: kartun karya Pirillo & Fitz dalam Grammarly)

Sebut saja namanya Siti. Perempuan kandidat doktor dari universitas ternama itu berkonsultasi kepada saya tentang disertasinya. Sudah beberapa kali ia melakukan pengeditan, tetapi peranti lunak pengecek plagiarisme (plagiarism checker) yang digunakan kampusnya memberi skor 70% kemiripan. Padahal, menurutnya untuk tidak dicap plagiat, ia harus memenuhi angka kemiripan 30%. Ia bingung.

Saya mencermati disertasinya dan bagian-bagian yang tersorot, baik kata, frasa, klausa, maupun kalimat yang terdeteksi mirip atau hampir mirip dengan sumber di internet. Beberapa bagian itu merupakan kutipan regulasi pemerintah berupa undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan menteri. Ia beranggapan supaya tidak terkena "sorotan" peranti antiplagiat itu maka bagian yang sama harus diubah atau dibuat parafrasa.

Tentu saja keliru jika undang-undang atau teks peraturan diubah meskipun itu merupakan karya domain publik. Begitu juga dengan definisi-definisi baku harus diubah (dibuat parafrasa) supaya menghindari kemiripan. Bagaimana jika parafrasanya malah tidak tepat, bukankah ini juga pelanggaran hak cipta karena mengubah suatu ciptaan menjadi keliru?

Saat memberi materi tentang plagiarisme di Universitas Muhammadiyah Banjarmasin beberapa waktu lalu, saya juga ditanya perihal peranti pengecek plagiarisme ini. Begitu pula saat mengisi acara bertajuk penulisan buku ilmiah populer di Politeknik Negeri Malang. Jadi, saya rasa ada kesalahpahaman tentang penggunaan peranti ini.

Melalui artikel ringkas ini, saya coba meluruskan. Memang kemunculan plagiarism checker tidak terlepas dari kemajuan pesat informasi yang dialirkan melalui internet bak air bah. Sumber di internet menjadi "surga" bagi para penulis yang memerlukan bahan-bahan dan rujukan secara cepat.

Sisi buruknya, sumber informasi di internet juga mendorong banyak orang sekadar mencomot karya orang lain dan mengakui sebagai karyanya. Soal "kutipan dalam kutipan dalam kutipan dalam kutipan ...." menjadi tindakan yang biasa karena orang mulai malas mencari sumber primer dari suatu teori atau definisi-definisi, bahkan yang lebih parah memang berniat untuk menjiplak mentah-mentah ---terutama terjadi pada siswa dan mahasiswa yang diwajibkan membuat tugas penulisan.

Atas dasar itulah kemudian, orang-orang pintar membuat peranti pengecek plagiarisme yang didasarkan pada sumber digital di internet. Beberapa penyedia jasa aplikasi ini bekerja sama dengan kampus-kampus untuk melengkapi pangkalan data (database) karya tulis ilmiah sehingga dapat terlacak jika diduplikasi. Peranti ini populer dengan nama plagiarism checker.

Pengertian plagiat paling umum dalam karya tulis adalah tindakan seseorang mengambil, mengutip, atau menggunakan karya tulis orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa mencantumkan bagian itu adalah kutipan atau malah mengakui bahwa bagian itu adalah karya ciptanya. Dari pengertian itu maka pengecek plagiarisme akan membantu penandaan terhadap karya-karya orang lain yang digunakan, termasuk karya domain publik seperti undang-undang.

Lalu, salah pahamnya di mana? Saya memahami bahwa peranti pengecek plagiarisme hanya menandai bagian-bagian yang mirip atau hampir mirip dari sumber yang tersedia di internet. Jika tidak ada di internet, tentu peranti itu tidak dapat mendeteksi. Deteksi berupa sorotan-sorotan menjadi peringatan bagi kita untuk mengecek kembali komposisi konten yang dituliskan. 

Tentu saja kemiripan tidak identik dengan plagiat jika sumber yang mirip itu digunakan sebagai kutipan secara benar dan etis. Saya coba beberkan tiga kesalahpahaman itu. Untuk itu, saya juga menggunakan sumber rujukan berasal dari artikel di writecheck.com.

Peranti pengecek plagiarisme tidaklah otomatis menandai suatu bagian sebagai hasil plagiat. Peranti lunak tersebut bekerja dengan cara membandingkan karya tulis yang diperiksa dengan basis/pangkalan data di internet. Bagian yang mirip atau hampir mirip akan tersorot pada karya tulis. Jadi, yang tersorot belum tentu hasil plagiat jika ternyata penulis menerapkan kaidah pengutipan (citation) yang dibenarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun