Mohon tunggu...
Bambang Syairudin
Bambang Syairudin Mohon Tunggu... Dosen - Bams sedang berikhtiar untuk menayangkan SATU per SATU PUISI dari SEMBILAN rincian PUISI tentang MASA DEPAN. Semoga bermanfaat. 🙏🙏

========================================== Bambang Syairudin (Bams), Dosen ITS ========================================== Kilas Balik 2023, Alhamdulillah Peringkat # 1 ========================================== Puji TUHAN atas IDE yang Engkau alirkan DERAS ==========================================

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekelebat Cerpen: Tidak (6)

8 Februari 2024   10:00 Diperbarui: 8 Februari 2024   10:05 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi merupakan dokumen pribadi 

Sekelebat Cerpen | Tidak (6)

Pintu saya ketuk tiga kali. Ada suara berdehem dari dalam. Tak lama kemudian pintu dibukakan.

" Assalamu'alaikum".

" Wa'alaikum salam, mari masuk, Mas."

Kami bersalaman. Saya mencium tangan beliau. Sesuai adat di Kampung Puisi ini, biasanya kalau bertamu dan bertemu dengan sesepuh atau orang yang dituakan selalu mencium tangan.

" Silahkan duduk, Mas."

" Terima kasih," saya duduk dan beliau pun kemudian duduk. Kami duduk saling berhadapan dipisahkan oleh meja panjang di antara empat kursi tamu.

Beliau bangkit berdiri sambil berkata, " Suka kopi kan, Mas."

"Inggih (iya)," dalam hati saya bilang, kok tahu ya kalau kesukaan saya kopi. Saya menjawab ya sebenarnya dengan rasa sungkan atau tak enak di hati karena merasa telah merepotkan tuan rumah.

" Nggak usah sungkan-sungkan, Mas. Ini sudah kewajiban tuan rumah, kalau ada yang disuguhkan ya harus disuguhkan ke tamu."

Lagi-lagi saya merasa heran dan dalam hati saya bilang, kok tahu ya kalau saya merasa sungkan. Nampaknya Pak Na'am ini memang sangat waskita dalam membaca benak orang.

Beliau kemudian pergi ke belakang. Dugaan saya beliau pasti akan membuatkan kopi untuk saya dan untuk beliau sendiri.

Sambil menunggu beliau membuatkan kopi, saya mengingat-ingat dua pertanyaan yang akan saya ajukan kepada beliau (kepada Pak Na'am). Pertama, apakah beliau keberatan apabila saya memberikan uang tanda terima kasih. Kedua, apakah saya perlu atau boleh bertamu lagi di kesempatan yang akan datang. Saya akui dua pertanyaan ini memang terlalu polos. Tapi ya bagaimana lagi... dua pertanyaan ini harus saya ajukan demi memenuhi rasa penasaran saya apakah Pak Na'am tetap konsisten dalam menjawabnya.

Tambah kaget lagi ketika mata saya melihat kotak amal di atas meja yang kelihatannya masih baru dengan ada tempelan tulisan yang bunyinya: setiap tamu boleh bertamu berkali-kali dan akan diterima dengan senang hati. Bunyi rima kalimatnya nyaris seperti puisi. Atau bisa jadi ini satu-satunya puisi di Kampung Puisi. Benak saya terus bergejolak keheranan. Bukankah kotak amal dan tulisan ini sudah merupakan jawaban atas dua pertanyaan yang akan saya ajukan ke Pak Na'am nanti?.

Monolog dalam batin saya terhenti karena melihat Pak Na'am sudah datang membawa nampan berisi dua cangkir kopi. Tangan kirinya membawa bungkusan tas kresek agak besar.

Nampan di taruh di atas meja sambil mempersilahkan ke saya agar kopinya diminum, mumpung masih hangat segera diminum, kata beliau.  Bungkusan tas kreseknya ditaruh di samping tempat duduknya.

Setelah kopi sebagian saya minum. Kemudian Pak Na'am bertanya kepada saya.

" Apa kira-kira yang bisa saya bantu, Mas?".

" Sudah tidak ada Pak. Karena pertanyaan saya sudah ada jawabannya di Kotak Amal dan di Tulisan tersebut," sambil saya menunjuk ke kotak amal dan tulisan tersebut. Kemudian saya minta ijin untuk memasukkan uang lima puluh ribuan saya ke kotak amal tersebut.

Kemudian setelah kopinya saya habiskan, sesuai adat di sini jika tidak dihabiskan dikatakan mubazir dan oleh karena itu wajib kopinya harus saya habiskan. Kemudian, saya mohon pamit kepada Pak Na'am sambil mengucapkan banyak terima kasih dan tak lupa saya mencium tangan beliau lagi.

Kemudian beliau berkata, Mas, ini ada bungkusan dari saya, tolong dibukanya setelah sampai rumah ya, Mas?"

"Inggih (iya),Pak."

Saya diantarkan sampai ke pagar depan rumahnya.

Sampai di rumah saya buka bungkusan tas kresek pemberian Pak Na'am,  isinya beras lima kilo dan amplop uang yang berisi 50 puluh ribu rupiah, persis jumlahnya dengan uang yang saya masukkan ke dalam kotak amal di rumah Pak Na'am.

Sayapun speechless, bengong alias tercengang sekaligus terharu dan kagum terhadap kebaikan Pak Na'am. Pulang dari rumah Pak Na'am justru saya dapat tambahan beras lima kilo. Sungguh luar biasa beliau ini. Beliau sepertinya sudah tahu lebih dahulu bahwa beliau akan diuji oleh saya.

Bukannya puas dengan hasil uji konsistensi beliau yang  benar-benar sudah terbukti konsisten itu, tapi saya justru makin tambah penasaran.

Dengan didorong rasa penasaran yang sangat ini, maka saya coba tanyakan ke salah satu orang yang pernah bertamu ke rumahnya Pak Na'am. Saya tanyakan tentang keberadaan kotak amal atau kencleng dan keberadaan tulisan tersebut. Jawaban dia adalah tak ada kotak amal dan juga tak ada tulisan seperti yang telah saya sebutkan. Apakah juga dibawakan beras lima kilo? Jawaban dia adalah tidak dibawakan beras lima kilo.

Nah dari konfirmasi jawaban dia ini, saya menjadi semakin yakin bahwa semua itu memang khusus untuk saya yang kedatangannya atau bertamunya memang berniat untuk menguji beliau, dan beliau telah memberikan sinyal bahwa beliau sudah tahu.

TAMAT

(tidak (6), 2024)

Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang Tidak (6). Semoga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun