Di manakah letak kebahagiaan ? Banyak jalannya, ternyata. Saat akad nikah dahulu, telah berikrar untuk membangun keluarga sakinah. Bebas dari pertengkaran, tapi berujung perceraian.
Ikut lomba makan kerupuk pun begitu. Tak perlu ribed mencari ujung fajar. Hidup itu hakikatnya berbagi rasa, pikiran, serta kegembiraan yang wajar. Terteguklah kepuasan, berkat sekeping kerupuk mlempem terkena rintik hujan.
Begitulah lorong permainan anak-anak. Tak pernah gelap-gelapan. Perasaan mereka dimainkan dengan murah dan lugu. Tidak mengedepankan rasa aku.
Anak-anak sangat mudah bersenandung. Nada lagunya penuh semangat keriangan bukan kepalang. Belum mengenal rugi dan untung, pokoknya hanya berdendang.
Tak perlu bumbu kata yang berlumuran pahala. Anak-anak diciptakan menjadi insan bermain-main atau "homo ludens" saja.
Tetapi ketika makin dewasa, keceriaan itu hilang. Himpitan hidup menjadikan jantung makin berdegup. Ada bosan, ada pula keserakahan. Bahkan sering menjadi "homo sui luris", yang memungkinkan untuk menilai paling baik bagi diri sendiri.