Akhir-akhir ini, ia selalu bertopi. Wajahnya tenggelam dalam khayal hitam. Ia dikenali kala sedang menggumam.Â
Suaranya ringan parau agak basah. Semakin hening suasana, ia selalu berpaling. Siapa gerangan yang terlihat berada di samping ?
Kecemasannya lalu dihitung. Angkanya menjadi tak terhingga, karena ini bukan matematika. Berusaha berkelai dengan harap, lalu tertikam oleh kecemasan yang amat sangat.
Bebatuan sebenarnya tinggal sebongkah. Namun itu yang paling menimbulkan resah. Apakah sisa mendung itu memang sulit untuk "ditundung" ? Kemurungan kok selalu menggantung.
Sebenarnya ini hanya perkara remah-remah cinta yang nyaris menjadi debu. Sekarang sudah menjadi milik angin, yang masih punya gejolak ingin.
Aku ingin menjadi burung. Melesat ke langit mengeringkan air mata. Ku merasa, kehilangan mestinya hanya sekali. Harapan bertemu cinta bisa berkali-kali.
Ia masih tetap bertopi. Wajahnya meliar, tidak bertepi. Jika esok masih seperti itu, dendam siap untuk menerkam hingga hati jadi remuk redam.