Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Benci tapi Rindu

13 November 2021   20:48 Diperbarui: 13 November 2021   21:08 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gudheg Jogja - dokpri besubroto

Jogja dan Sala, sudah terbiasa dengan masakan manis. Bahkan tradisi minum teh pun harus memenuhi kriteria "nasgithel", panas manis dan pekat sekali. Minum teh tawar tidaklah lazim.

Gudheg juga begitu. Cita rasanya monokromatik. Dimaklumi saja, karena bahan gudheg direbus 12 jam. Overcooking. Agar sedikit menarik, saat direbus, ditutup dengan daun jati muda. Biar bernuansa warna agak kemerahan.

Gudheg dikesani sebagai lauk manis. Tempe dan tahu bacem yang menemani memang manis.

Jajan pasar pun begitu. Dari enam pilihan rasa, mayoritas memilih rasa manis. Padahal selain manis, ada rasa asin, asam, pedas, pahit, dan sepet.

Konon menurut cerita, kebiasaan bermanis-manis itu tidak luput dari tanam paksa. Penduduk diwajibkan menanam tebu. Dari produk gula itulah Pemerintah Kolonial bisa menutupi defisit anggaran. Gara-gara Perang Diponegoro selama lima tahunan itu, menjadi penyebab dana tekor.

Hampir 70 persen lahan yang tadinya ditanami padi, diganti dengan tebu.

Ketika tanam paksa berakhir sekitar tahun 1870 an, pabrik gula berganti pemiliknya. Kerajaan merupakan pengelola baru dan menjadi semakin kaya karena itu.

Karena lahan bertanam padi menyempit, kebutuhan karbo hidrat dipenuhi dengan air perasan tebu. Diabetisi mulai bermunculan.

Konon Mangkunegara IV sempat menasihati agar khalayak ramai memperbaiki gaya hidup dan pola makan. Terutama para pemuja kelezatan.

Tapi tradisi makanan model dulu, lambat tapi pasti mulai menghilang. Pernah gaya makan versi Jogja dan Solo hadir di Surabaya. Tetapi entah kenapa nama besar  RM Adhem Ayem misalnya,  hanya lestari di kota aslinya. Di sini, pengunjungnya sudah sepuh-sepuh. Mungkin hal tersebut merupakan bagian dari wisata kuliner nostalgia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun