Konon Julius Caesar menggunakan jempol sebagai isyarat kehidupan. Bayi yang aktif menggerakkan jempolnya, itu pertanda punya masa depan cemerlang. Sedangkan jika gerakan ibu jarinya lemah, mereka tidak memiliki prospek menang dalam intrik kehidupan.
Dalam praktik, ada periode di mana jari telunjuk menunjukkan tingkat kekuasaan seseorang. Tetapi setelah jari telunjuknya powerless, maka yang lebih difungsikan bisa jadi jempolnya. Mereka nyaman jadi pendukung, karena asyik berjempol-jempol. Mereka menunjukkan naluri sebagai pemuja, buat siapa saja yang didukungnya.
"Enthik-enthik, patenana si penunggul. Penunggul dosane apa, dosane ngungkul-ungkuli ...". Mengungguli dianggap dosa. Itulah sebabnya, mereka lalu berupaya mengoleksi kelemahan lawan politiknya.
Ini menjadi biang kerok terjadinya sasar-susur. Jika porsi sasarnya lebih besar, akan berkonotasi positif. Tapi bila posisi susurnya lebih dominan, maka situasi makin simpang siur.
Sasar-susur itu mirip chaos. Kekacauan berpola pikir, karena subjektivitas dirinya hadir.
Kebanyakan kita lupa motto "Gnothi se Auton" yang tertulis di kuil zaman Yunani kuna. Perintah dewa itu, Â mewajibkan manusia mengenali diri sendiri terlebih dahulu.
Jari yang harmonis di satu tangan, tidak terdiri dari jempol semua. Jempol yang baik, tidak boleh menjadikan satu tangan terdiri jempol semua.
Itu makna dari toleransi, karena keberagaman itu tidak bermsksud memaksakan kehendak berdasar subjektivitas pribadi.