Jika fiksi diadu terus dengan realita, tidak akan ada habisnya. Apa pun forumnya. Topik ini muncul di mana-mana. Di forum bergengsi, hingga obrolan warung kopi.
Menghakimi konsep berpikir tentu tak mudah. Apalagi kalau berbeda ranah. Argumentasinya pasti bersilangan.
Bagi yang ngugemi atau memercayai realita, real atau kenyataan itu sungguh-sungguh ada. Ia bukanlah persepsi. Dalam konteks filsafat, pasti mempunyai eksistensi substantif atau diyakini objektif.
Fiksi masih saja dikatakan penuh rekaan, khayalan, ilusi, serta artifisial. Fiksi lebih menarik dibandingkan dengan realita. Kadar manis getirnya lebih terasa.
Unsur realitasnya dapat disetel mengandung aktualitas. Seakan-akan bersinggungan dengan situasi aktual kekinian.
Fiksi punya daya jelajah lebih luas. Bisa jadi bersinggungan dengan masa silam, yang bisa ditarik ke depan dan ke belakang. Di sana sini terselip hikmah atau ramalan-ramalan.
Karena perbedaan cara pandang tersebut, maka topiknya pun bisa diperluas atau disempitkan.
Bagi yang memandang fiksi sebagai fatamorgana, topik apa pun bisa dibuat berbayang-bayang. Moralitas kadang disajikan dengan bumbu ambigu. Dan ternyata laku.
Logikanya pun dibuat sederhana. " Ngundhuh wohing penggawe" misalnya. Perbuatan baik maupun buruk akan berdampak selamanya. Bahkan prosesnya bisa seperti fatamorgana.
Agar mudah dimengerti, konsep filsafat yang rumit dapat dimudahkan dengan analogi sehari-hari. Bahkan sering ditarik dan diulur, sesuai tingkat pemahamannya yang berlain-lainan.
Misalnya sedang menjelaskan topik yang beranalogi pesawat terbang. Sangat mungkin dipakai pengandaian burung besi yang mampu terbang mengangkut penumpang.Â