Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memburu Titik Temu yang Tak Mungkin Bertemu

27 September 2021   06:11 Diperbarui: 27 September 2021   06:12 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika fiksi diadu terus dengan realita, tidak akan ada habisnya. Apa pun forumnya. Topik ini muncul di mana-mana. Di forum bergengsi, hingga obrolan warung kopi.

Menghakimi konsep berpikir tentu tak mudah. Apalagi kalau berbeda ranah. Argumentasinya pasti bersilangan.

Bagi yang ngugemi atau memercayai realita, real atau kenyataan itu sungguh-sungguh ada. Ia bukanlah persepsi. Dalam konteks filsafat, pasti mempunyai eksistensi substantif atau diyakini objektif.

Fiksi masih saja dikatakan penuh rekaan, khayalan, ilusi, serta artifisial. Fiksi lebih menarik dibandingkan dengan realita. Kadar manis getirnya lebih terasa.

Unsur realitasnya dapat disetel mengandung aktualitas. Seakan-akan bersinggungan dengan situasi aktual kekinian.

Fiksi punya daya jelajah lebih luas. Bisa jadi bersinggungan dengan masa silam, yang bisa ditarik ke depan dan ke belakang. Di sana sini terselip hikmah atau ramalan-ramalan.

Karena perbedaan cara pandang tersebut, maka topiknya pun bisa diperluas atau disempitkan.

Bagi yang memandang fiksi sebagai fatamorgana, topik apa pun bisa dibuat berbayang-bayang. Moralitas kadang disajikan dengan bumbu ambigu. Dan ternyata laku.

Logikanya pun dibuat sederhana. " Ngundhuh wohing penggawe" misalnya. Perbuatan baik maupun buruk akan berdampak selamanya. Bahkan prosesnya bisa seperti fatamorgana.

Agar mudah dimengerti, konsep filsafat yang rumit dapat dimudahkan dengan analogi sehari-hari. Bahkan sering ditarik dan diulur, sesuai tingkat pemahamannya yang berlain-lainan.

Misalnya sedang menjelaskan topik yang beranalogi pesawat terbang. Sangat mungkin dipakai pengandaian burung besi yang mampu terbang mengangkut penumpang. 

Prinsip keserupaan itu lalu diyakini, bahwa burung itu ada yang terbuat dari besi. Dan itu merupakan keajaiban.

Yang perlu diamati, apakah ada produsen analogi palsu ? Ini upaya untuk memaksa agar sesuatu itu dirasa tidak memiliki unsur persamaan. Analogi pun bersifat pemilih, dan dapat disetel sesuai dengan kepentingannya.

Jika topik pembahasan mengarah ke dogma, sebenarnya sudah masuk ke ranah "luput cinatur". Ia tidak cukup diiris dengan pisau logika saja.

Dogma pasti memercayai doktrin, keyakinan, ideologi, bahkan dengan pendapat pribadi sekali pun. Begitu telah ditetapkan secara otoritatif, maka unsur kemutlakannya berlaku di sini.

Oleh karena itu, terdapat konsep moralitas kebenaran yang tidak dapat diperdebatkan.  Bahkan oleh mereka yang menganut paham skeptisme. 

Apabila mencari titik temu terhadap masalah dogmatis, maka sikap kritis tak akan mampu mengiris bahkan membelahnya.

Titik temu itu tidak akan pernah ada hingga kapan pun juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun