Dalam khazanah budaya Jawa, sangat dikenal Nyanyian Bermakna, atau tembang. Terdapat tiga kategori nyanyian kehidupan. Tembang Macapat, Tembang Tengahan, dan Tembang Gedhe.
Tembang Macapat terdiri dari sebelas pupuh. Mijil, Sinom, Asmaradana, Kinanthi, Dhandhanggula, Maskumambang, Durma, Pangkur, Gambuh, Megatruh, dan Pocung.
Siklus kehidupan dimulai dari mijil atau kelahiran. Pada masa ini terjadilah proses asih asah dan asuh. Diajari bersosialisasi secara bertahap.Â
Masuk ke periode sinom, anak belajar memilih dan memilah akhlak keteladanan. Sinom adalah dedaunan muda, yang terlihat hijau segar di pucuknya.
Masuk ke masa pubertas, asmarandana bergelut dengan gelap dan terang. Jika kena ghosting, dunia gelap seperti langit kelap-kelap katon. Jika terlewati masa indah tetapi kritis ini, baru berani membuat komitmen kinanthi.
Kinanthi berniat membangun rumah tangga yang indah, dan awet selamanya. Biduk rumah tangga melaju dengan semangat dhandhang gula. Ini merupakan lambang keterikatan dalam kebersamaan. Pasangan tersebut senantiasa mengasah kepekaan untuk mencium gelagat kepalsuan, bak emas yang berkilauan atau maskumambang.Â
Apalagi, nafsu itu bersifat liar, jika lebih banyak di luar. Nafsu atau durma perlu dikendalikan, agar niat awal menikah tetaplah cerah seperti pangkur.
Lebih elok jika spititualitas juga diasah (gambuh) agar mampu memberi jawaban atas pertanyaan kepada diri sendiri : "Siapa saya untuk dikenang?"
Dan sampailah sudah ke penghujung perjalanan, menuju ke haribaanNya atau pocung.
Itu budaya yang diuri-uri agar lestari. Pergulatan hidup manusia, menuju ke kesempurnaannya. Manusia yang kontemplatif mempunyai cara sendiri-sendiri yang berkandungan hakikat, yang akhirnya pasti menuju ke sana. "A morte semper homines tantumdem absumus" .