Jam 02.30 dini hari. Aku duduk di lantai dapur, memegang secangkir kopi dingin, mata memerah menahan tangis. Di kamar sebelah, anak bungsuku tertidur setelah demam tinggi sepanjang malam. Di meja, tumpukan tagihan menunggu: listrik, air, SPP, cicilan motor. Di ponsel, notifikasi dari kantor: "Besok rapat jam 7 pagi. Jangan terlambat."
Aku lelah. Bukan lelah fisik---tapi lelah jiwa.
6 bulan setelah istriku pergi, aku berusaha menjadi ayah sekaligus ibu. Tapi malam itu, aku merasa gagal. Aku ingin menyerah.
Baca juga: Aku Hampir Resign: Saat Anak Sakit dan Dunia Menuntut Aku Tetap Kuat (Serial Ayah Tunggal: 3/7)"Aku nggak kuat lagi," bisikku pada diri sendiri.Â
Tiba-tiba, ponselku berdering. Itu sahabat lamaku, Joko.
"Gue dengar anakmu sakit. Gue bawa nasi dan susu, boleh datang?"Â
Aku mengangguk, meski ia tak bisa melihatku. Lima belas menit kemudian, ia sudah di depan pintu---membawa makanan hangat, susu untuk anakku, dan senyum yang tulus.
Ia tidak banyak bicara. Ia hanya duduk di sebelahku, memegang bahuku, lalu berkata pelan:
"Kamu nggak sendiri. Anak-anak butuh ayah yang kuat---bukan yang menyerah."Â
Kalimat itu seperti petir yang menyambar hatiku. Bukan karena keras, tapi karena jujur. Dan di balik kejujurannya, ada empati yang tak bisa dibeli dengan uang.
Saat Dunia Terasa Sepi, Sahabat Menjadi Jembatan
Sebelum malam itu, aku merasa harus menanggung semuanya sendiri. Aku takut dianggap lemah jika mengeluh. Aku malu meminta bantuan, seolah itu tanda kegagalan sebagai kepala keluarga.