Dan ketika ditemukan ketidaksesuaian antara pernyataan pejabat dan fakta, mereka tidak diam. Mereka membuat video TikTok, meme satir, atau thread X (dulu Twitter) yang menyederhanakan kompleksitas menjadi narasi yang mudah dipahami oleh jutaan orang.
Gerakan ini bukan soal benci, tapi soal tuntutan atas integritas intelektual. Mereka ingin pejabat yang tidak hanya bisa berbicara indah, tapi juga memahami apa yang mereka katakan.
Mengapa Literasi Pejabat Begitu Rendah?
Beberapa faktor utama menyebabkan darurat ini:
1. Â Relasi Kuasa vs Informasi: Di banyak institusi, informasi dikontrol oleh staf khusus. Pejabat sering hanya membaca ringkasan eksekutif yang sudah difilter, sehingga kehilangan nuansa dan detail kritis.
2. Â Politik Identitas & Kepentingan Partai: Terkadang, pernyataan dibuat bukan berdasarkan data, tapi untuk memenuhi agenda politik tertentu, meski bertentangan dengan fakta.
3. Â Minimnya Pelatihan Literasi Kebijakan: Tidak ada sistem formal yang melatih pejabat untuk membaca laporan teknis, memahami metodologi penelitian, atau mengevaluasi dampak kebijakan secara kritis.
4. Â Ego dan Kepastian Palsu: Beberapa pejabat merasa cukup dengan pengalaman masa lalu dan enggan belajar hal baru, terutama yang datang dari generasi muda.
Solusi: Dari Retorika ke Akuntabilitas Intelektual
Untuk mengatasi darurat ini, kita butuh lebih dari sekadar pelatihan public speaking. Kita butuh reformasi literasi pejabat:
1. Â Wajibkan Ujian Literasi Kebijakan Pra-Lantik: Calon menteri dan pejabat eselon 1 harus lulus ujian memahami dokumen teknis, menelaah data, dan merespons kritik publik berbasis fakta.
2. Â Transparansi Laporan Teknis: Jadikan semua laporan kementerian (kecuali yang bersifat rahasia negara) terbuka untuk publik. Biarkan rakyat bisa membandingkan pernyataan pejabat dengan dasar yang sebenarnya.
3. Â Sistem Pendampingan dari Ahli Independen: Setiap pejabat harus didampingi tim ahli non-partisan yang bertugas memastikan kebijakan dan pernyataan publik berbasis data.