Mohon tunggu...
Bambang Kussriyanto
Bambang Kussriyanto Mohon Tunggu... Purna karya konsultan manajemen bisnis namun tetap aktif sebagai pengamat perekonomian, pelatihan wirausaha dan manajemen lembaga sosial

Seorang penggemar sejarah, hobi membaca dan menulis, menyukai wawasan kepada masa depan yang lebih baik, dan karena itu berwawasan dan bersikap positif, demokratis namun non-partisan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pernyataan Guru itu Beban Negara adalah contoh Jebakan Pikiran atau Mind-Traps dari Logika yang Tidak Sehat.

21 Agustus 2025   10:35 Diperbarui: 21 Agustus 2025   10:30 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada suatu hari seorang teman baik mengritik kegiatan sehari-hari saya. Pada hari itu saya menulis di WA Grup tentang apa yang saya lakukan. Saya jalan kaki 8141 langkah (menurut aplikasi) dan berhasil melampaui target 8000 langkah. Setelah duduk rehat di rumah baru berpikir dan menulis. Baru kepikir makna kata-kata di masa kegiatan pramuka masa kecil dulu. Satyaku kudharmakan. Dharmaku kubaktikan. Agar jaya Indonesia dst. Teman baik saya mengritik, supaya saya tidak terperangkap "mind-traps". "Otaknya susah istirahat. Braung terus. Malam mimpi. Sore ngelindur. Siang ngliyek mikir," begitu tulisnya. Saya berterima kasih atas kritik penuh perhatian itu. Namun saya merasa kritikan berkenaan dengan jebakan pikiran atau "mind-traps" itu tidak tepat. Sepertinya "mind-traps" yang ia maksudkan berbeda dari pengertian saya tentang mind-traps.  Maka saya berusaha menilik kembali apa itu "mind-traps".

Saya berusaha meninjau kembali pengertian saya pribadi tentang mind-traps itu dan berusaha tetap berada pada jalur open-mindedness. Jika saya kurang berpikiran terbuka untuk dialog, maka  saya masih harus banyak mengoreksi diri. Sejauh yang saya pahami mind-traps  yang bukan nama suatu game online berikut ini.

Perangkap pikiran (mind traps) adalah pola pikir negatif atau tidak akurat yang dapat memengaruhi perasaan, pengambilan keputusan, dan tindakan seseorang.

Beberapa contoh perangkap pikiran antara lain:

Berpikir hitam-putih (all-or-nothing): Melihat segala sesuatu sebagai ekstrem, tanpa nuansa.

Overgeneralisasi: Membuat kesimpulan yang terlalu umum dari satu kejadian.

Penyaringan mental (mental filter): Hanya fokus pada hal negatif dan mengabaikan hal positif.

Menyalahkan diri sendiri (discounting the positives): Mengabaikan atau meremehkan pencapaian diri sendiri.

Melompat ke kesimpulan (jumping to conclusions): Membuat asumsi tanpa bukti yang cukup.

Membaca pikiran (mind reading): Mengira tahu apa yang dipikirkan orang lain tanpa bertanya.

Meramal masa depan (fortune-telling): Memprediksi hasil negatif tanpa dasar yang jelas.

Menyadari perangkap pikiran dan belajar untuk menghindarinya dapat membantu seseorang untuk berpikir lebih jernih, membuat keputusan yang lebih baik, dan meningkatkan kesejahteraan mental. Itulah yang setiap kali saya usahakan.

Seorang teman lain bertanya "Mind-traps itu buah pikiran filsuf siapa, nggih." Pertanyaannya berasal dari latar belakang kami yang sama-sama dari Fakultas Filsafat.

Jawaban saya: "Saya membaca dari disiplin psikiatri mas, kesehatan mental. Sekitar 1976, psikolog Aaron Beck mula-mula menyampaikan teori dibalik distorsi kognitif. Semacam rangkaian fallacia dalam mata kuliah logika dulu. Lalu pada 1980-an David Burns mengelaborasikannya. Setelah itu saya tidak mengikuti perkembangannya." Beberapa karya David Burns tentang itu dapat di download gratis, utamanya berjudul "Feeling Good Handbook".

Kesalahan akibat Jebakan Pikiran atau Mind-traps dalam komunikasi sosial dapat menyebabkan kegaduhan dan memboroskan waktu dan tenaga secara percuma.

Belakangan saya mensinyalir wacana marak tentang "Guru itu Beban Negara" adalah salah satu kesalahan akibat Mind-Traps yang perlu diputus, disudahi saja. Karena percakapan yang tidak berdasar dan sia-sia.

Mulanya adalah video yang beredar di Instagram yang menampilkan pidato Sri Mulyani di Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB, Bandung, pada 7 Agustus 2025. Ada beberapa sumber resmi yang dapat mengkonfirmasi kehadiran Menkeu Sri Mulyani di ITB pada waktu tersebut, yaitu saluran YouTube Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) dan saluran YouTube dari media nasional lainnya. Dalam video di Kemendiktisaintek, dapat diperhatikan pernyataan Sri Mulyani (yang juga ada dalam cuplikan Instagram) pada menit 57.01 hingga 57.19. Pernyataan Sri Mulyani yang terdapat dalam cuplikan Instagram juga bisa dilihat dalam video tersebut pada menit 9.47 hingga 10.06.

Berikut adalah kutipan dari pidato Sri Mulyani yang terdapat dalam unggahan di Instagram tersebut:

"Sering kali saya melihat di media sosial, ada yang mengatakan bahwa menjadi dosen atau guru tidak dihargai karena gajinya kecil. Ini juga merupakan salah satu tantangan bagi anggaran negara. Apakah semua biaya harus ditanggung oleh negara atau ada kontribusi dari masyarakat?"

Rekaman tersebut kemudian diakhiri dengan pernyataan yang disebutkan berasal dari Menkeu Sri Mulyani: "Guru itu beban negara."

Namun sejauh memeriksa diksi Sri Mulyani, tidak ditemukan pernyataan Sri Mulyani yang menyebut bahwa "guru itu beban negara" dari kedua sumber. Artinya, pernyataan "Guru itu beban negara" bukan dari Menkeu Sri Mulyani, melainkan berasal dari si pemilik akun Instagram tersebut.

Konteks dari pidato aslinya, Sri Mulyani membahas alokasi anggaran pendidikan, termasuk gaji dan tunjangan tenaga pendidik yang menjadi tantangan dalam pengelolaan keuangan negara.

Transkrip pernyataan Sri Mulyani: "Itu belanjanya dari mulai gaji sampai dengan tunjangan kinerja tadi, banyak medsos saya selalu mengatakan oh menjadi dosen guru itu tidak dihargai karena gajinya tidak besar".

"Ini salah satu tantangan keuangan negara, apakah ini harus semua keuangan negara atau ada partisipasi masyarakat."

Pernyataan tersebut sebenarnya merujuk pada kompleksitas alokasi anggaran pendidikan, bukan melulu gaji dan tunjangan profesi guru atau dosen yang disebutkan Sri Mulyani sebagai "termasuk di dalamnya". Disebutkan "tantangan keuangan negara" antara lain dengan memilah berbagai unsur biaya pendidikan "apakah ini harus semua keuangan negara atau ada partisipasi masyarakat." Sejauh yang saya tangkap, Sri Mulyani menunjukkan dua sumber pendanaan biaya pendidikan, "keuangan negara" dan "partisipasi masyarakat" yang perlu dipertimbangkan dalam "alokasi anggaran pendidikan". Tentang "partisipasi masyarakat" itu kita tahu salah satu bentuknya adalah pembayaran Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP). SPP atau Sumbangan Pembinaan Pendidikan ini menyediakan dana operasional yang penting bagi sekolah. Bagi sekolah, terutama sekolah swasta, SPP adalah salah satu sumber pendapatan yang membantu sekolah untuk tetap beroperasi dan memberikan layanan pendidikan yang berkualitas kepada siswa. Dana SPP digunakan untuk membayar gaji guru, biaya listrik, air, dan biaya operasional lainnya. Tanpa SPP, sekolah mungkin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan operasional mereka. Tanpa SPP, sekolah mungkin mengalami kesulitan dalam membiayai kegiatan sehari-hari mereka dan menyediakan fasilitas yang memadai.

Sri Mulyani dalam percakapannya sama sekali tidak menyebut "Guru itu beban negara".

"Guru itu beban negara" adalah buah kekeliruan Jebakan Pikiran atau Mind-traps pembuat unggahan Instagram. Bisa jadi karena ia berpikir ekstrem negatif ketika ia menafsirkan kata-kata Menkeu Sri Mulyani. Bisa jadi ia keliru jumping to conclusion tanpa memikirkan dengan teliti frasa-frasa yang diucapkan Menkeu Sri Mulyani.  Bisa jadi ia melakukan mental filter menyaring yang negatif. Mungkin dengan sengaja untuk mengangkat hal kontroversial yang mengundang orang jadi viewers dan dengan demikian menguntungkan akunnya.

Kehebohan sosial yang kemudian terjadi adalah bahwa netizens begitu saja mengambil pernyataan "Guru itu beban negara" yang diasumsikan dari Menkeu Sri Mulyani tanpa menyelidiki latar belakangnya. Menyebabkan rangkaian keresahan dan kegelisahan yang tidak seharusnya.

Semoga kehebohan sia-sia ini segera diakhiri, waktu, pikiran dan energi dapat digunakan untuk hal-hal lain yang lebih positif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun