Mohon tunggu...
Bambang Kussriyanto
Bambang Kussriyanto Mohon Tunggu... Purna karya konsultan manajemen bisnis namun tetap aktif sebagai pengamat perekonomian, pelatihan wirausaha dan manajemen lembaga sosial

Seorang penggemar sejarah, hobi membaca dan menulis, menyukai wawasan kepada masa depan yang lebih baik, dan karena itu berwawasan dan bersikap positif, demokratis namun non-partisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ziarah kita, Jalan Bersama Menuju Pengharapan Konklusif

25 Juli 2025   09:10 Diperbarui: 25 Juli 2025   12:18 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tongkat dan labu air peziarah  (Sumber: Camino de Santiago/Kredit Foto)

Jalur asli peziarahan itu merupakan akar sejati ziarah ini, berangkat dari Oviedo dan melintasi Asturias di barat untuk mengakses Galicia melalui Provinsi Lugo hingga terhubung dengan rute Jalur Prancis di kotamadya Melide, hingga Santiago de Compostela. Panjang Jalur Peziarahan itu 321 km, dibagi menjadi 13 atau 14 etape masing-masing antara 20 dan 30 km.

Rute ini melintasi daerah pegunungan yang jarang penduduknya, dengan bentang alam yang sangat indah dan hampir tanpa jalan beraspal, yang berkontribusi pada keindahan lanskapnya. Selain itu, sumber daya sejarah dan patrimonialnya melimpah, terutama di dua kota monumental yang kami kunjungi dalam rute ini, Oviedo dan Lugo, serta Compostela sendiri.

Rute ini cukup menantang, dengan tanjakan yang cukup curam seperti pelabuhan Palo yang menakutkan (sebelum Grandas de Salime) dan dengan bagian-bagian yang, pada musim hujan, dapat berubah menjadi dataran lumpur yang dalam, sehingga semakin mempersulit penyeberangan.

Pada rute ini hanya ada sedikit penginapan umum. Namun, layanan tenda dan katering yang disediakan secara pribadi memenuhi kebutuhan para peziarah.

Tongkat dan labu air peziarah  (Sumber: Camino de Santiago/Kredit Foto)
Tongkat dan labu air peziarah  (Sumber: Camino de Santiago/Kredit Foto)

Setiap tahun kurang lebih tiga juta orang peziarah mengunjungi Santiago Compostella. Apa yang mereka cari dengan bersusah-payah membawa tongkat dan labu air?

Oliver Bennet dari Universitas Warwick dalam buku Cultural Pessimism: Narratives of Decline in Postmodern World  (2001) menyatakan bahwa kendati mengalami ledakan besar kesejahteraan di banyak negeri Barat, namun kita menderita depresi bersama. Ada kekerasan yang terus bertumbuh di kota-kota kita. Ada perang yang berkecamuk antar geng, penyalahgunaan narkotika menjadi-jadi, dan di dunia yang lebih luas lagi terjadi ketidakadilan antara yang kaya dan yang miskin, AIDS menyebar semakin luas, ada ancaman bencana ekologis dan terutama ada ancaman benturan antar agama dan meluasnya terorisme. Tanpa adanya janji akan suatu masa depan, apakah yang dapat kita lakukan sebagai generasi masa kini, selain hanya hidup di masa kini saja? Ziarah menjadi tanda akan pengharapan besar di ujung jalan di masa depan.

Lukisan Paul Gauguin yang terkenal diberi tajuk "D'ou venons nous? Que sommes nous? Ou allons nous?" Dari mana kita berasal? Siapa kita ini? Ke mana kita pergi? Menurut novel The Way to Paradise (Jalan ke Surga) oleh pengarang dari Peru, Mario Vargas Llosa (2005), Gauguin melarikan diri dari pengaruh kekacauan hidup di Barat mencari surga di Tahiti. Tetapi ia mendapatkan surganya itu berantakan. Ia pindah lagi di tahun 1891 ke tempat yang jauh masuk ke pedalaman lagi Marquesas, tetapi  para penguasa kolonial sudah sampai di sana lebih dahulu. Lukisan itu dibuat Paul Gauguin pada tahun 1897 dan merupakan kesaksian terakhir Gauguin sebelum tahun kemudian ia bunuh diri. Karena surga yang dicarinya tidak ada lagi, ia putus asa. Ia tidak mengenal jalan pengharapan para peziarah St. Yakobus.        

Lukisan Paul Gauguin
Lukisan Paul Gauguin "D'ou venons nous? Que sommes nous? Ou allons nous?" Foto repro.
                                                                                       

"Siapakah kita?" Que sommes nous? Pertanyaan masa kini itu ditempatkan Gauguin di antara pertanyaan tentang masa lalu D'ou venons nous? (Dari mana kita) dan tentang masa depan Ou allons nous? (Mau ke mana kita). Memang, kita hanya dapat mengenal diri kita jika kita punya cerita yang menengok baik ke belakang asal usul kita maupun ke depan pada tujuan akhir kita. Orang Kristiani hidup menurut cerita Kitab Suci yang menengok ke belakang sampai pada kisah Penciptaan (Kitab Kejadian), dan ke depan menuju Kerajaan Allah (Kitab Wahyu). Kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan lagi. Melakukan perjalanan ziarah mengungkapkan harapan itu. Sayangnya masyarakat kita sebagian besar tidak lagi mengenal cerita itu.

Ketika keyakinan pada harapan-harapan sekular memudar, ketika gambaran surga yang bersifat sosial politis ekonomis sebagian besar runtuh berantakan, dan hanya ada beberapa tempat saja di dunia yang luput dari dampak industrialisasi modern yang merusak. Maka surga yang satu pada umumnya lepas dari imajinasi kita bersama. Kita tidak lagi berjalan bersama ke arah satu tujuan yang sama. Tentu saja pertanyaannya adalah ke mana arah tujuan perjalanan ziarah kita ini? Apakah kita akan mendapatkan apa yang kita cari? Paus Fransiskus almarhum sebelum wafatnya menggerakkan peziarahan global dengan menetapkan tahun 2025 sebagai Tahun Yubelium Peziarahan Pengharapan, Jalan Bersama menuju harapan sejahtera bahagia yang hanya ada pada Tuhan. Santo Yakobus, Rasul Pengharapan yang dirayakan pada 25 Juli, mengingatkan makna peziarahan panjang yang kita lakukan di medan yang sulit, bahkan makna hidup kita sebagai peziarahan selama berada di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun