Garin Nugroho, dengan segala kelembutan sekaligus kejeliannya, seakan berkata: dalam dunia yang penuh hiruk pikuk politik, krisis ekonomi, dan bising media sosial, mengenali diri sendiri adalah tindakan paling revolusioner.
Di tangan Garin Nugroho, "Siapa Dia?" bukan hanya judul film. Ia menjelma sebagai cermin, undangan, sekaligus peringatan. Cermin agar kita berani menatap sejarah bangsa yang penuh luka dan cinta; undangan agar kita menegosiasikan kembali identitas yang sering tercerai-berai; dan peringatan bahwa tanpa ingatan dan refleksi, kita mudah terhanyut oleh arus hiburan semata.
Sinema menjadi semacam ruang kontemplasi sekaligus forum publik. Menolak tunduk pada logika pasar, namun juga tidak menutup diri dari penonton. Diyakini bahwa film bisa menghibur sekaligus menggugat, bisa membuat kita terhanyut sekaligus tercerahkan.
Dan ketika layar bioskop meredup, pertanyaan yang ditinggalkan bukan sekadar tentang tokoh atau alur cerita, melainkan tentang kita sendiri: siapa aku, siapa kita, dan bangsa macam apa yang hendak kita bangun?
Barangkali di situlah letak kekuatan Garin Nugroho: menjadikan sinema bukan hanya tontonan, melainkan tindakan kultural---sebuah ajakan untuk terus bertanya, bahkan ketika jawaban tidak pernah tuntas."
Jika shot adalah kata, maka kalimat adalah scene dan Sequen merupakan paragraf, lalu keseluruhan film itu disebut apa? Sekedar Bab, Babak atau Buku?
Untuk itulah kiranya perlu Menggugat Garin Nugroho: Siapa Dia? Mengapa justru kemudian menyusun kata demi kata itu, menjadi larik-larik puisi, bait-bait syair yang menyediakan ruang tafsir yang penuh imajinasi? Yang kadang bertemu dalam satu hembusan napas, seringkali lepas tak terkendali?
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI