Mohon tunggu...
Bambang Suharto
Bambang Suharto Mohon Tunggu... Administrasi - PNS Kemenkeu Ditjen Perbendaharaan

Pegiat media sosial :-)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Abdulloh..

29 Mei 2012   12:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:38 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Desa Madani mendadak gempar. Mbah Dulloh, seorang kiai yang juga imam tetap masjid setempat tewas terbunuh. Dada beliau tertembus timah panas dari seorang yang tak dikenal sesaat sebelum Dhuhur. Ketika para jamaah yang datang ke masjid melihatnya terbujur di teras masjid, nyawanya sudah tak tertolong lagi. Semua warga merasa kehilangan.Maklum saja, mbah Dulloh dikenal sebagai sosok sederhana yang menjadi panutan. Almarhum sering menjadi tempat bertanya ilmu agama dan berkonsultasi tentang masalah-masalah kehidupan. Pribadinya ramah dan akrab dengan berbagai kalangan. Maka, sehabis Ashar hampir seluruh laki-laki di Desa Madani berduyun-duyun datang ke rumahnya untuk bertakziyah. Mereka juga menyolatkan dan mengantarkan jenazahnya menuju pemakaman dengan khusyuk. Beberapa dari mereka juga tak mampu menahan luapan kesedihan, hingga air mata jatuh meleleh bersamaan. Mereka tak habis pikir, ada orang yang tega membunuh seorang yang sudah tua renta. Apakah almarhum punya musuh? sepertinya mustahil. Yang masih mengherankan mereka, ada darah tercecer juga ditemukan di dekat pengimaman padahal Mbah Dulloh tewas di teras. Kemarahan mereka pada sang pembunuh sedikit terobati saat mengetahui jenazah Mbah Dulloh tersenyum mesra. Beberapa warga yakin bahwa itu adalah sebagian tanda bahwa beliau wafat dengan husnul khotimah. Allah pasti akan memberikan pahala yang besar baginya.

***

Satu jam sebelumnya, seorang lelaki berumur tiga puluhan tampak terbangun di teras masjid. Dengan memakai jaket kulit dan celana jins ia terkaget karena tidur yang terlalu lelap, padahal sedang menghadapi masalah besar. Rambutnya panjang berantakan, kumisnya lebat, dagunya bersudut tegas, tampak bukan seperti orang baik-baik. Wajahnya kusam dan kotor seperti tukang bangunan. Ia lalu duduk dengan dua kaki di ditegakkan di depan, lututnya ditekuk dan kepalanya menunduk. Ia mulai penasaran dengan rencana selanjutnya. Selain itu sebenarnya dia merasa kesepian. Kesepian hati akan iman dan ketenangan.

***

Lelaki di masjid tadi bernama Joni. Ia memang bukan orang baik-baik. Sudah lebih dari dua tahun ini ia berenang dalam kubangan dosa. Ia mengabdikan diri pada syetan bernama Bobi, lelaki yang pernah menyelamatkan hidupnya dari kemiskinan di kampung halamannya. Bobi yang juga kakak kelasnya waktu SD dalam beberapa tahun mampu menjadi pengusaha newbie di Jakarta. Mula-mula Joni dipekerjakan dirinya sebagai satpam. Beberapa tahun kemudian dialihkan menjadi bodyguard. Hingga ketika bisnisnya makin berkembang Bobi mulai membawa Joni serupa dengannya. Bobi yang dulu dikenal pendiam kini menjadi garang dan bengis. Ia tak segan-segan menghabisi nyawa siapa saja yang menghalangi harapannya menggapai kesuksesan. Pemilik sebuah perusahaan properti itu mempunyai selusin pembunuh bersenjata api, salah satunya Joni. Awalnya Joni memang takut dengan dosa dan hukum, tetapi setelah aksi demi aksi awalnya berhasil, ia menjadi semakin berani. Mentornya adalah Bobi sendiri, selama berbulan-bulan Joni diajarinya menembak sasaran, menyembunyikan barang bukti, beladiri dasar, dan cara menyamar. Joni merasa tak punya pilihan lain saat itu selain menuruti apa saja yang Joni inginkan. Toh, ia mendapat bayaran sepuluh kali lipat dari gaji satpam.

Namun, hidayah tampaknya hampir sampai di ubun-ubun Joni. Kemarin malam ia melarikan diri dari bosnya dan aparat. Tugas yang ia emban tak ia selesaikan dengan baik. Bukan ia tak mampu meletuskan peluru dari pistolnya, karena ini sudah kali keenam. Namun, hatinya menegasikan rencananya. Ia ditugaskan membunuh seorang bayi perempuan yang baru berumur seminggu. Sejak semula nuraninya mengatakan bahwa kali ini Bobi benar-benar brengsek, tak punya hati sama sekali. Bisa-bisanya si bos menyuruhnya beraksi sendirian untuk melakukan tugas yang berat ini, mengorbankan seorang bayi demi menghancurkan keceriaan ayahnya. Lagipula ayah si bay, Randy, adalah teman dekat Joni. Hampir saja aksi Joni berhasil dengan lancar. Namun, ketika ia sudah berdiri di depan sasaran, hidayah Ilahi membuatnya tak kuasa melakukannya. Melihat bayi mungil tertidur disamping ibunya, tubuh Joni bergetar hebat. Tangannya memang berhasil meraih pistol dari dalam jaket, tetapi setelah diangkat dan diarahkan pada sasaran tiba-tiba tangannya yang turut bergetar menjadi dingin berkeringat. Buk… suara pistol jatuh mengenai kaki sang ibu. Tak sengaja Joni melakukan kesalahan fatal itu. Untung saja Joni berlari secepat kilat keluar rumah, karena sang Ibu menjerit sekencang-kencangnya saat itu juga.

Sampai di luar rumah, ia berusaha memacu motor Ninja-nya agar bisa lari dari kejaran massa. Lolos dari kejaran ia melintas heningnya jalanan sepertiga malam terakhir, kilo demi kilo dia tempuh dengan pikiran hampa. Ia masih syok dan trauma pada kejadian di rumah Randy. Pelan-pelan pikirannya pulih, ia sadar telah melakukan dua kali melakukan kesalahan. Pertama, ia tak sanggup melaksanakan tugas, keduanya pistol dalam genggaman terlepas dari tangannya. Resiko pertama, ia akan segera dibunuh oleh Bobi karena kegagalan yang aneh itu bisa menyebabkan Bobi menduga ia bertobat dan membocorkan segala kebusukan mereka. Resiko berikutnya, polisi bisa segera mungkin menemukan dan menjebloskannya ke penjara karena kecerobohannya meremehkan pentingnya sarung tangan dalam menjalankan aksi. Sidik jarinya akan mudah ditemukan di sekujur tubuh pistol sial itu. Subuh berkumandang, bensin motornya sudah sekarat. Hingga karena gagal menemukan stasiun bahan bakar, motornya mogok di depan sebuah masjid, motornya kehabisan bensin, maka ia putuskan menunggu pagi dengan tidur terlentang di teras masjid

***

Berdasar jadwal hisab, dhuhur masih satu jam, tetapi Pak Abdulloh atau yang sering disapa Mbah Dulloh dari tadi sudah tiba di masjid. Bangunan tempat wudhu masjid berada di samping kiri halaman masjid, terpisah dari bangunan utama. Maka, setiap orang sehabis berwudhu pasti melewati teras. Sejak mulai mengucurkan air wudhu, sebenarnya Mbah Dulloh tidak tenang, sesekali ia mengarahkan matanya pada Joni. Dari pakaian dan celana yang dipakai Joni, Mbah Dulloh bisa yakin bahwa lelaki itu adalah pria yang sejak habis Subuh dilihatnya tergeletak di teras depan masjid. Hati kecilnya bertanya, apakah pria berjaket kulit itu adalah musafir dan membutuhkan bantuan. Maka, sehabis berwudhu Mbah Dulloh memberanikan diri menyapa pria itu.

“Assalamualaykum Nak”, pelan-pelan Mbah Dulloh menyentuh siku tangan Joni

“Walaykumsalam!!!”, jawab Joni tersentak

“Kamu nggak langsung wudhu Nak?”

“Nanti aja Kiai, nunggu adzan”

“Oh ya sudah, aku ke dalam dulu ya...”, Mbah Dulloh seolah lupa dengan pertanyaan yang ingin ia sampaikan, tetapi beberapa langkah kemudian, ia teringat dan kembali menemui Joni.

“Ehmm.. maaf Nak, aku mau bertanya sedikit, sekedar ingin membantu”

“Ada apa Kiai?”

“Aku lihat kamu tertidur sejak habis Subuh, sepertinya kamu musafir. Kalau kamu mau kamu bisa mampir ke rumahku, ndak jauh kok dari sini. Kamu boleh istirahat atau makan di sana. Tapi ya.. seadanya.”

“Oh.. Makasih banyak Kiai, tetapi saya sebenarnya mau pergi lagi”.

“Tunggu dulu Nak, kulihat kau tampak sedang cemas dan gelisah, berwudhulah lalu sholatlah, semoga hatimu bisa sedikit tenang. Habis dhuhur kamu bisa pergi dengan lebih tenang”, saran Mbah Dulloh, seakan mendapat wangsit bahwa Joni sedang menghadapi masalah

“Se.. sebenarnya aku udah lama nggak sholat mbah, dan nggak berniat sholat lagi”

“Kok begitu Nak, kamu nggak percaya sama Allah?”

“Aku percaya Allah Kiai, tapi sepertinya aku tidak yakin Allah masih mau menerimaku”

Mbah Dulloh heran, ia seakan-akan mengerti bahwa pria itu baru saja mendapat hidayah. Maka, Mbah Dulloh urung masuk ke dalam masjid, tetapi malah duduk di samping Joni dan bersiap menjadi pendengar yang baik untuk Joni. Joni pun akhirnya mengubah posisi duduknya menghadap Kiai disampingnya.

“Aku dah mbunuh lima orang Kiai”, kata Joni. Wajah seorang Kiai yang teduh dan ramah, membuatnya nyaman bercerita tentang itu. Lagipula, ia tak punya pilihan lain. “Dua tahun ini hidupku juga dipenuhi keglamoran, wanita dan wanita, alkohol dan alkohol, diskotik dan diskotik. Suram!”

“Lalu?”, Mbah Dulloh penasaran.

Pertanyaan Mbah Dulloh tersebut seakan-akan menegaskan ketenangan karakter Mbah Dulloh pada Joni. Tidak biasanya ada orang beriman yang tidak kaget mendengarnya bercerita hal-hal haram. Joni pun semakin membuka diri dan bercerita banyak hal, tentang masa kelamnya, tentang Bobi dan Randy, sampai malam kemarin ketika Joni tak berhasil membunuh sasarannya, hingga kemudian nasib membawanya di masjid. Mbah Dulloh mendengarkan dengan saksama. Mata kecilnya sempat berkaca-kaca, tetapi tak sampai menetes. Ia turut prihatin dengan keadaan pria di sampingnya. Walau begitu, ia mampu memberi nasehat dengan tenang dan tepat. Ia ajak Joni untuk segera melaksanakan sholat taubat. Kemudian berdzikir atau bertilawah agar kembali menemukan ketenangan diri. Joni sang pembunuh akhirnya merangkul Mbah Dulloh, sesenggukan mengakui segala kesalahannya. “Doakan saya Kiai, semoga Allah bisa mengampuni saya dengan doa pak Kiai”. Mbah Dulloh menjawab pelan, “InsyaAllah Nak, InsyaAllah ampunan-Nya pasti kau terima”. Joni kemudian bangkit bersamaan dengan Mbah Dulloh. Kemudian ia segera mengambil air wudhu untuk sholat. Mbah Dulloh langsung ke dalam masjid dan beriktikaf menunggu waktu Dhuhur tiba. Tanpa sadar, mereka berdua belum saling berkenalan.

Sejurus kemudian, Joni yang sedang asyik dzikir dalam pertaubatannya dipanggil Mbah Dulloh. “Nak, kamu adzan ya, sudah masuk waktu, tapi Pak Endang yang biasa adzan belum datang, aku udah nggak kuat teriak”. “Oh... baiklah Kiai”, jawab Joni sambil mengusap air matanya. Azan dhuhur pun berkumandang dengan suara serak, dicampur dengan nada-nada sumbang seorang yang sedang bersedih.

Sementara itu, Mbah Dulloh sedang keluar untuk berwudhu kembali, ia sudah batal. Baru sampai di teras masjid, ada rombongan preman memarkir motor di depan masjid. Mereka baru saja melepas helm, tetapi masih sulit dikenali. Wajah mereka semua tertutup topeng maling, hanya kedua mata mereka yang terlihat. Dengan langkah terburu-buru enam orang berpakaian mirip itu melangkahkan kaki di teras masjid. Sepatu pantovel tidak mereka lepas saat menginjak ubin teras, malah mengeluarkan pistol dari dalam sisi jaketnya. Mbah Dulloh agak cemas, tetapi berusaha tetap tenang. Ia beranikan diri melangkah dan menghampiri pria-pria tegap di depannya.

“Assalamualaykum.., ada yang bisa saya bantu?, ada perlu apakah Bapak-bapak sekalian datang ke masjid ini?”

“Hey pak tua, mana si Joni!”, seru preman berbadan paling besar dengan mengacungkan senjata ke badan Mbah Dulloh

“Astaghfirullah..”, Mbah Dulloh yang kali ini mulai sedikit cemas. “Joni siapa Nak? aku tak kenal? mungkin kau salah tempat”, jawab Preman yang mengarahkan pistol tadi mulai maju ke depan dan meletakkan pistol ke jantung Mbah Dulloh. “Jangan bohong kau pak tua! cepat katakan!”

Ruang sholat ada di ruang deket pengimaman, tak terlihat dari luar. Maka, maka kehadiran Joni di sana tak ada yang melihat. Ketika adzan sampai di lafaz “Hayya alas sholah….!!!” salah satu dari mereka tersadar. Suara adzan yang terdengar dari speaker sudah tidak asing lagi bagi mereka. Kemudian preman itu spontan berkata, “Bos, kau dengar suara adzan itu? bukannya itu suara Joni, bos!”

Preman yang sudah menarik pelatuk pistolnya dari tadi langsung gelap mata, “Brengsek!!!”, peluru secara tiba-tiba keluar dari lorong kecil, melaju secepat angin menembus baju gamis, kaos dalam, kulit dan daging Mbah Dulloh, hingga akhirnya terhenti setelah merobek dinding jantung seorang Abdi Allah. Kiai terhuyung lemas, jatuh tak tertahankan. Dadanya ia rasakan sungguh sakit luar biasa, tidak sempat ia bernafas dua kali, sakit itu mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Rasanya ajal sudah hampir tiba, seiring nafasnya yang hampir sampai di tenggorokan. Dengan terbata-bata ia mengucapkan kalimat tauhid, “Asyhadu Alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah”.

Angin berhembus kencang meniupkan debu-debu di halaman masjid ketika suara adzan terhenti terhenti tiba-tiba. Beberapa daun beringin kering kemudian jatuh dari pohon berjatuhan mengiringi rombongan motor besar yang meninggalkan halaman masjid. Sementara itu, roh Mbah Dulloh sudah berada di alam lain dan menjemput kenikmatan, sesuai janji Tuhannya

***
Wamena, 26-29 Mei 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun