(Oleh: BIS, Neuronesia Community)
Jakarta, 24 Agustus 2025.Â
Pemilihan Ketua Umum ILUNI UI (Ikatan Alumni Universitas Indonesia) periode 2025-2028 memasuki babak penting dalam sejarah organisasi alumni terbesar di Indonesia. Dengan masa kepengurusan selama tiga tahun, Pemilihan Langsung (Pemila) yang digelar pada 23-24 Agustus 2025 ini menjadi momen demokratis bagi lebih dari 32 ribu alumni terverifikasi untuk menentukan arah kepemimpinan UI ke depan (Putnam, 2000; Norris, 2011).
Tahun ini, tujuh calon ketua umum (caketum) resmi ditetapkan sebagai kontestan. Bagi komunitas alumni MMUI yang tergabung dalam KUMBA (Kumpul Bahagia), Pemila bukan sekadar ajang mencari figur yang mampu mengurus organisasi. Lebih dari itu, proses ini adalah arena lahirnya kader-kader pemimpin bangsa di tengah krisis moral dan etika yang melanda negeri ini (Diamond, 2019; Fukuyama, 2014).
KUMBA dan Budaya Diskusi Inklusif
KUMBA lahir pada masa pandemi sebagai ruang silaturahmi daring berbasis webinar, memanfaatkan teknologi Zoom dan YouTube. Hingga kini, lebih dari 100 episode telah digelar dengan rata-rata durasi 2-3 jam, semuanya terdokumentasi rapih di kanal YouTube KUMBA MMUI (Wellman et al., 2001; Rheingold, 2000).
Sesuai namanya, "Kumpul Bahagia", forum ini menjunjung budaya egaliter: setiap peserta boleh bertanya, berkomentar, dan berdiskusi sejajar tanpa sekat jabatan atau senioritas. Aturan mainnya jelas-tidak boleh menyinggung SARA, tidak boleh menyakiti pihak lain, dan tidak boleh digunakan untuk politik praktis. Pendekatan ini menjadikan KUMBA sebagai model safe space diskusi yang valid sekaligus inklusif, sesuai dengan prinsip neuroleadership bahwa otak manusia lebih optimal belajar dan berkolaborasi dalam suasana aman dan saling percaya (Rock, 2009; Goleman, 1995).
Cocokology dan Human Design sebagai Ice Breaking
Salah satu ciri khas yang membuat KUMBA berbeda dari forum alumni pada umumnya adalah keberanian memasukkan elemen cocokology ke dalam setiap sesi webinar, khususnya melalui metode Human Design. Praktik ini memang sekilas tampak tidak konvensional, karena Human Design sering kali dipandang sebagai pendekatan pseudosains. Namun dalam konteks KUMBA, tujuannya bukan untuk memberikan ramalan nasib, melainkan sebagai bagian dari ice breaking yang kreatif. Moderator (Host dan Co-Host) biasanya meminta data sederhana seperti tanggal, jam, dan tempat lahir narasumber, lalu menyajikan hasil bacaan yang dipersonalisasi yang dipadukan dengan data sekunder di media sosial, termasuk lagu favorit narsum. Hal ini langsung mengundang rasa ingin tahu, menimbulkan tawa, dan menciptakan keintiman suasana sejak awal diskusi.
Efektivitas strategi ini dapat dipahami dari literatur tentang dinamika kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ice breaking yang tepat berfungsi menurunkan hambatan psikologis, meningkatkan keterbukaan komunikasi, dan mempercepat proses pembentukan rasa kebersamaan (Forsyth, 2018). Dengan kata lain, Human Design bukan diposisikan sebagai kebenaran ilmiah, tetapi sebagai instrumen komunikasi yang menciptakan jembatan emosional antara narasumber, peserta, dan audiens yang lebih luas.