(Oleh: BIS, Neuronesia Community)
Jakarta, 20 Agustus 2025. Bayangkan Anda berhenti di sebuah perempatan padat di Jakarta. Lampu lalu lintas menyala merah. Seharusnya kendaraan menunggu. Tetapi kenyataannya, puluhan motor melaju seenaknya, bahkan menyelip di antara mobil, menerobos seakan lampu itu hanya hiasan. Selain sering juga berlawanan arah, ada pula yang lebih nekat: masuk ke jalur busway yang jelas-jelas hanya diperuntukkan untuk TransJakarta. Ironisnya, ketika satu pengendara melakukan itu, yang lain pun ikut. Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran, melainkan budaya kolektif.
Fenomena serupa kita lihat dalam skala lebih besar. Berita tentang pejabat publik yang tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti tidak ada habisnya. Hampir setiap pekan ada cerita baru: suap proyek, gratifikasi, mark-up anggaran, hingga perubahan peraturan demi kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompoknya. Dan lagi-lagi, apa yang dilakukan "atasan" cepat ditiru bawahan, seolah korupsi itu sekadar gaya hidup.
Kita pun bertanya-tanya: mengapa bangsa ini begitu akrab dengan perilaku melanggar aturan, baik di jalanan maupun di gedung-gedung kekuasaan?
Jawabannya ternyata tidak hanya ada di hukum, ekonomi, atau politik. Jawabannya tersembunyi di otak kita - tepatnya pada sekelompok sirkuit kecil bernama basal ganglia, dan diperkuat oleh mirror neuron system (MNS) yang membuat perilaku buruk mudah menular.
Basal Ganglia: Lampu Lalu Lintas Rahasia di Otak
Basal ganglia adalah kumpulan struktur saraf yang terletak jauh di dalam otak. Tugas utamanya mirip polisi lalu lintas mini: memberi "lampu hijau" untuk tindakan yang boleh dilanjutkan, dan "lampu merah" untuk perilaku yang harus dihentikan.
Sirkuit ini terdiri dari berbagai loop:
* Motor loop untuk mengatur gerakan tubuh,
* Oculomotor loop untuk pergerakan mata,
* Cognitive loop untuk fokus dan perencanaan,
* Limbic loop yang mengaitkan emosi dengan tindakan (Alexander et al., 1986; Haber, 2016).
Kerusakan basal ganglia bisa menghasilkan gambaran ekstrem: penderita Parkinson sulit memulai gerakan karena sinyal "lampu hijau" terlalu lemah, sementara penderita Huntington justru tak mampu menghentikan gerakan karena "lampu merah" gagal bekerja (DeLong & Wichmann, 2007; Walker, 2007).
Namun, fungsi basal ganglia tidak berhenti di gerakan. Ia juga menjadi "mesin otomatis" yang mengatur kebiasaan, keputusan cepat, dan dorongan emosional sehari-hari (Graybiel, 2008).
Dari Otak ke Jalan Raya