Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meningkatkan Kecerdasan Kolaboratif di Era Society 5.0

22 Desember 2020   07:20 Diperbarui: 22 Desember 2020   07:52 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurutnya kita harus bisa memanfaatkan keberagaman profil tadi, atau sering disebut 'harnessing diversity'. Tim yang baik dapat memasukan pendapat seluruh profil untuk memberikan kontribusi pemikiran dan perilaku yang optimal. Semua profil individu baik, tidak ada yang terbaik. Namun setiap manusia mempunyai peluang yang sama untuk menjadi atau memunculkan kinerja terbaiknya. 

Di dalam konsep ini setiap profil manusia berpotensi menjadi pemimpin yang baik. Akan tetapi profil group diharapkan merata kecenderungan berpikirnya. Bila tidak merata atau masing-masing minimal 23%, ada beberapa teknik untuk menyisiatinya sehingga hasil diskusi, brainstorming ataupun kinerja bersama akan menjadi optimal.

Dengan kita memahami kecenderungan manusia berpikir dan berperilaku setiap manusia yang unik sehingga kita dapat berkomunikasi dan berkolaborasi secara optimal. Bertutur kata yang baik, tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain - using the language of grace. Words are powerful. 

Merupakan kunci keberhasian adalah komunikasi yang efektif. Hal ini menjadi pilar utama yang penting di dalam berkolaborasi seperti halnya keberhasilan dalam kepemimpinan, komunikasi pemasaran dan komunikasi bisnis, pendidikan dan pengasuhan anak, dan bidang-bidang sosial lainnya.

Untuk sukes berkolaborasi kita harus memahami keragaman perbedaan-perbedaan seperti yang diuraikan di atas. Termasuk perbedaan gender pria dan perempuan, yang memang jelas-jelas perbeda tidak hanya cara pikir dan perilaku, tetapi memang memiliki struktur otak secara fisik pun berbeda. 

Contohya; perempuan seakan-akan lebih berpikir holistik dan mampu berkerja multitasking. Karena perempuan memiliki kemampuan bandwith interkoneksi corpus callosum yang menghubungkan antar kedua belahan otak jauh lebih baik ketimbang pria. Demikian pula dengan perbedaan-perbedaan kecenderungan berpikir dan berperilaku lainnya.

Kita juga mampu meningkatkan kepintaran berkolaborasi saat kita memahami perbedaan lintas generasi dengan lebih baik. Sehingga dapat meminimalis gap yang ada. Masing-masing generasi memiliki kecenderungan yang berbeda. Contoh di dalam literasi digital mereka yang lahir di lingkungan yang serba digital akan lebih cepat beradaptasi dan kecenderungan berkemampuan literasi digital yang lebih baik, karenanya dikenal dengan istilah 'digital natives'. Sedangkan seniornya atau digital immigrants berusaha untuk menyesuaikan dengan meningkatkan daya resiliensi digital yang optimal agar efektif berkolaborasi dengan generasi milenial atau generasi-generasi di bawahnya.

Generasi X atau dikenal dengan generasi facebook. Generasi Y yang lebih memilih menggunakan instagram ketimbang facebook sebagai media komunikasi efektifnya. 

Sedangkan generasi di bawahnya lagi - generasi Z yang sering disebut snapchat generation menyukai memakai aplikasi snapchat seperti tiktok. Demikian generasi yang lahir sekarang-sekarang ini di masa pandemi, generasi pots-Z ini mungkin nantinya akan dikenal dengan generasi zoom atau pun generasi corona, pastinya akan memiliki kecenderungan berkomunikasi yang berbeda lagi khususnya dalam berkolaborasi.

Di era digital yang cenderung tanpa batas, kita dapat berkolaborasi dengan latar belakang budaya yang berbeda. Memiliki ciri khas kerangka berpikir dan mindset global namun tetap masing-masing menjaga kearifan lokalnya. Jenis-jenis kolaborasi seperti crowd funding dan crowd sourcing sangat dibutuhkan, terutama di masa-masa sulit seperti dalam menghadapi pandemi COVID-19, agar segera dapat mengatasi permasalahannya. Penyediaan vaksin, penyediaan pasokan alat pelindung diri, penanganan pengobatan pasien yang terdampak, dan seterusnya.

Kolaborasi yang sukses juga dapat memahami perbedaan yang diwarnai oleh perbedaan tingkat berpikir (level of thinking), dan perbedan tingkat kesadaran (level of awareness atau level of consciousness). Di dunia yang VUCA atau TUNA (volatility/turbulence, uncertainty, complexity/novelty, dan ambiguity) menyikapi perubahan seperti pandemi pun berbeda-beda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun