Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Memahami Perbedaan Otak dan Perilaku Lintas Generasi

14 Juli 2020   06:34 Diperbarui: 15 Juli 2020   06:08 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedangkan generasi Baby Boomers mereka yang lahir antara tahun 1946-1964. Kemudian generasi penulis yang dikenal dengan Generasi X atau disingkat dengan 'Gen X', yang lahir antara tahun 1964 sampai dengan 1980. Generasi setelahnya disebut 'Gen Y' (1981-1997) dan 'Gen Z' (1998-2010). Generasi Y yang sering diistilahkan dengan generasi milenial. Karena lahir di abad milenial.

Dua tahun lalu, kami Neuronesia komunitas pencinta ilmu neurosains berkolaborasi dengan komunitas lainnya menerbitkan buku dengan judul: "Gence, Membedah Anatomi Peradaban Digital."

Penulisan buku dengan tebal 511 halaman ini diketuai oleh DR. Tauhid Nur Azhar, SKed, MKes. Menurutnya Gence itu 'plesetan' dari Gen C.

Di dalam buku tersebut, menurut Prof. Suhono Harso Supangkat - Guru Besar ITB, yang dimaksud dengan Gen C adalah generasi connected artinya generasi yang selalu connect atau terhubung dengan gadget atau internet. Gen C terdiri dari Gen X, Y dan Z.

Bukan bermaksud melabel-labelkan generasi, namun kecenderungan perbedaan-perbedaan itu faktanya memang ada di dalam keseharian kita beraktivitas, bekerja atau berbisnis.

Misalkan; beberapa kali meeting dengan klien, sering kali mereka minta dikirimkan terlebih dahulu bahan yang akan dipresentasikan atau ingin didiskusikan. Walau kita telah mengirimnya melalui whatsapp, namun mereka minta dikirim lagi via email. Alasannya kalau di whatsapp saja sering ikut terhapus saat clear chat percakapannya.

Kalau dipikir-pikir common sense sih jawabannya. Namun lucunya saat tiba di kantornya, sebelum meeting dimulai, klien tersebut meminta sekretarisnya untuk menge-print bahan rapat yang kita kirim sebelumnya tadi. Ini lah ciri-ciri 'digital immigrant'. Cerita-cerita seperti ini pastinya pembaca juga sering mengalaminya kan?

Perbedaan pemaknaan pencapaian target individu atau dalam berbisnis juga terjadi. Mereka yang milenial lebih menghindari kata-kata 'kompetisi' tuh. Secara perspektif neurosains melalui kajian-kajiannya memang kurang mantap. Suasana kompetisi yang ketat dan berdarah-darah hanya menimbulkan nuansa kortisol.

Sebagai gantinya, mereka generasi sekarang lebih menyukai berkolaborasi. Semua orang harus beradaptasi dan mau belajar.

Dari kajian neurosains dibuktikan tidak ada connectome seonggok kabel-kabel listrik jaringan neuron otak kita yang sama, satu pun di dunia yang fana ini. 'Every connectome is different. Every brain is unique'. Setiap orang unik, dan masing-masing individu pastinya memiliki kelebih-kelebihannya. Fokus di kelebihan atau kekuatan-kekuatan ini saja.

Dengan memahami kelebihan kita maupun kelebihan masing-masing orang lain, maka komunikasi akan berjalan lebih efektif, merangsang atau menstimulasi neuromodulator pada masing-masing produksi enzim neurotransmitter di kepala kita, seperti; dopamine, serotonin, dan oxytocin. Menghasilkan komunikasi yang konstruktif, kreatif, produktif dan inovatif, serta solutif dengan rasa saling percaya (trust) yang tinggi. Bahkan menghasilkan ide-ide cemerlang yang berpotensi memunculkan maha karya gemilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun