Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Jakarta, 19 Juni 2020. Tidak terasa waktu berjalan semakin cepat. Tanpa disadari sudah 4 bulan masa pandemi COVID-19 kita telah lewati bersama semenjak dinyatakan oleh bapak presiden kita semenjak awal maret 2020 kemarin.
Kali ini saya ingin mencoba membahas dari perspektif lain. Seperti paparan Prof. Suhono Harso Supangkat, Guru Besar ITB dalam diskusi webinar ngobdar ramadhan komunitas Neuronesia yang lalu, bahwasannya kita seyogianya mensyukuri adanya pandemi ini. Walau tak seorang pun di dunia yang mengharapkan kehadirannya.
Bersyukur karena manusia-manusia Indonesia terutama, telah berhasil terbiasa dan dapat menjadi lebih intens serta akrab dalam hal penggunaan teknologi khususnya teknologi digital atau teknologi informasi.
Di dalam perusahaan-perusahaan baik swasta, BUMN & BUMD, serta institusi-institusi pemerintah lainnya, bukan CIO (Chief Information Officer) atau CTO (Chief Technology Officer), CEO (Chief Executive Officer), CMO (Chief Marketing Officer) atau pun COO (Chief Operation Officer) yang berhasil melakukan transformasi digital. Namun si COVID-19 lah yang berhasil mem-push kita semua menjadi lebih intens dalam penggunaan teknologi informasi.
Penggunaan gadget selama stay at home atau selama ‘di dumah aja’ penggunaan telepon dengan teknologi canggih (smartphone) di kalangan masyarakat terus meningkat. Bahkan sebelum adanya pandemi, Indonesia telah menempati urutan kelima dalam daftar pengguna smartphone terbesar di dunia, setelah Cina, Amerika Serikat, India, dan Brazil.
Penggunaan gadget dan computer devices lainnya yang terlalu sering ternyata juga memiliki dampak buruk bagi kesehatan terutama dari efek sinar biru (blue light) yang terpancar dari gadget. Agar selalu berhasil ‘stay safe at home’, penting tulisan sederhana ini untuk dibaca dan dipahami.
Paparan cahaya biru (panjang gelombang = 450-490 nm, frekuensi = 610-670 THz) yang terlalu lama bisa memicu sel-sel fotoreseptor (peka cahaya) pada mata untuk menghasilkan molekul beracun yang membahayakan mata, sinar biru yang masuk ke mata, lensa dan retina tidak dapat memblokir atau memantulkannya sehingga mengenai dan merusak sel fotoreseptor. Rusaknya sel fotoreseptor bisa menyebabkan degenerasi makula atau macular degeneration.
Degenerasi makula yaitu penyebab kebutaan yang paling sering terjadi pada orang berusia 50 tahun atau lebih. Makula atau organ kecil dekat pusat retina yang mempertajam objek ini dapat rusak seiring bertambahnya usia. Namun, akan terjadi lebih cepat salah satunya karena sinar biru dari smartphone, laptop, atau perangkat digital lainnya.
Selain berpotensi kebutaan total mata kita, blue light juga berpotensi memblok atau mengganggu produksi melatonin. Begitu menurut penjelasan Dr. Lulu Lusianti Fitri, MSc., dosen di SITH-ITB (Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung), dalam kesempatan ngobrol daring - dalam jaringan (ngobdar) bersama komunitas Neuronesia menggunakan aplikasi webinar zoom cloud meeting, 12 Mei 2020. Beliau melakukan penelitian di kampus, untuk memastikan apakah blue light mengganggu produksi melatonin. Percobaan dengan menggunakan tikus yang dipaparkan cahaya blue light dengan lampu TL (tubular lamp) atau sering dikenal dengan lampu neon.