Upaya neuroleadership diusulkan untuk membantu individu dan organisasi memenuhi potensi mereka melalui pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana otak manusia berfungsi pada tingkat individu, tim, dan sistemik. Sedangkan strategic neuroleadership adalah konsep strategi-strategi neuroleadership yang dipilih paling cocok dan tepat diterapkan oleh suatu kelompok, perusahaan, organisasi dan bangsa dengan hasil yang paling efektif dan efisien [Bambang IS, Neuronesia, 2015].
Sejarah Neuroleadership
Pendekatan neurosaintifik dalam konteks kepemimpinan dan manajemen perusahaan telah lama didekati oleh beberapa tokoh sebelumnya [Argang Ghadiri et al, 2011]. Antara lain oleh Ned Herrmann tahun 1996, dengan alat bantu HBDI-nya. Herrmann Brain Dominance Instrument merupakan tes pelaporan diri untuk menunjukkan preferensi berpikir dan kognitif kita berdasarkan model otak.
Pada tahun 2006 David Rock mengembangkan model SCARFÂ yang merumuskan lima dimensi yang perlu dipertimbangkan, yaitu; Status, Certainty atau kepastian, Autonomy, Relatedness atau keterkaitan, dan Fairness atau keadilan. Konsep ini berdasarkan studi neurosaintifik dan pengalaman praktis di bidang bisnis. David Rock termasuk yang paling rajin memasarkan konsep neuroleadership dan mendirikan NeuroLeadership Institute.
Kemudian pada tahun 2009, Prof. Dr. Gerald Huther dengan kepemimpinan yang mendukung atau dikenal dengan Supportive Leadership, telah mengembangkan konsep yang didasarkan pada neurosains. Huther membuat rekomendasi tentang cara mendukung pengembangan karyawan di perusahaan mereka dan bagaimana mereka dapat mengembangkan potensinya.Â
Gerald Huther adalah kepala penelitian neurobiologis di sebuah klinik psikiatris di Jerman. Bekerja untuk menemukan lebih banyak tentang efek ketakutan, stres, kecanduan dan nutrisi pada otak. Bagi Huther, dalam hal kemampuan dapat diprogramnya otak manusia adalah struktur jaringan yang padat dan terbuka.
Di tahun yang sama, 2009, Christian E. Elger merangkum wawasan ke dalam ilmu neurosains dan aplikasi bisnis menjadi tujuh aturan dasar bagi para pemimpin. Aturan yang dimaksud adalah; 1) sistem penghargaan, 2) keadilan dan umpan balik, 3) bagaimana memengaruhi melalui informasi, 4) setiap otak adalah unik atau individualitas otak, 5) fakta terkait dengan emosi, 6) pengalaman mendefinisikan dan mendorong perilaku kita, 7) dinamika situasional.
Selanjutnya tahun 2010, Srinivasan Pillay melakukan pendekatan yang didasarkan pada pengetahuan khusus tentang substrat neuron. Karenanya merupakan pendekatan regional yang ditargetkan untuk ilmu otak dalam skenario bisnis. Dia juga sangat fokus pada intervensi khusus untuk para pemimpin dan pelatih (coach).
Adanya beberapa pendekatan konsep neuroleadership menunjukkan kesejajaran dan dari sini kita dapat mendefinisikan rekomendasi untuk implementasi dalam konteks bisnis. Sedangkan neurocoaching atau neuroscience for coaching akan menjadi tren terbaru untuk pelatihan dan pengembangan dengan pendekatan neurosaintifik yang akan banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan dunia. Di antaranya; 1) dengan metode yang didukung secara teknis, 2) program-program pelatihan otak, 3) pelatihan training dan coaching neuroasosiatif, 4) manajemen stres integratif, dan 5) intervensi bertarget otak.
Strategic Neuroleadership
Sekarang kita masuk ke dalam bahasan sesuai judul topik tulisan ini. Beberapa pilihan konsep kepemimpinan neuroleadership yang telah diuraikan di atas faktanya tidak serta merta berjalan efektif terutama konteksnya di sini bagi orang Indonesia. Memang benar pada dasarnya kemampuan otak manusia berpikir tidak tergantung dari mana asal negaranya. Namun kebiasaan, budaya setempat memengaruhi struktur dan cara kerja otak. Kebiasaan asupan nutrisi yang dikonsumsi. Keadaan geografi alam dan cuaca setempat. Nilai luhur, tata krama, disiplin dan keyakinan beragama yang dijalani, dan seterusnya.