Mohon tunggu...
bangdhi
bangdhi Mohon Tunggu... mahasiswa

saya hobi mancing

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Ancaman Hoaks Sintetis: Menavigasi Era Baru Kebenaran di Media Sosial

9 Oktober 2025   23:18 Diperbarui: 9 Oktober 2025   23:18 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dibuat dengan AI

Perang melawan hoaks di media sosial bukanlah sebuah pertempuran baru. Selama bertahun-tahun, masyarakat telah berjuang melawan gelombang misinformasi dan disinformasi yang mengotori linimasa. Namun, kemunculan Artificial Intelligence (AI) generatif baru-baru ini telah mengubah total medan pertempuran tersebut. Teknologi seperti video deepfake yang mampu meniru wajah dan suara, gambar fotorealistis yang diciptakan dari perintah teks, hingga kloning suara yang nyaris sempurna, kini tersedia secara luas. Teknologi ini telah mengaburkan batas antara realita dan fiksi hingga ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuatnya hampir mustahil bagi mata dan telinga awam untuk membedakannya. Esai ini akan membahas bagaimana gelombang "hoaks sintetis" yang ditenagai AI ini menciptakan ancaman yang jauh lebih besar bagi tatanan sosial, dan bagaimana hal tersebut menuntut evolusi mendesak dalam etika dan tanggung jawab digital setiap pengguna media sosial.

Sebelumnya, hoaks dapat dikenali dengan relatif mudah. Ciri-cirinya seringkali berupa editan foto yang kasar, kutipan palsu yang disematkan pada gambar seorang tokoh, atau narasi teks yang penuh dengan kejanggalan logika. Kini, kita memasuki era hoaks sintetis. Bayangkan sebuah video viral yang menunjukkan seorang pejabat publik mengeluarkan pernyataan rasis yang provokatif, padahal ia tidak pernah mengucapkannya. Bayangkan pula gambar realistis tentang kebakaran hutan atau kerusuhan di kota Anda yang sebenarnya tidak pernah terjadi, namun berhasil memicu kepanikan massal. Ini bukanlah fiksi ilmiah; ini adalah realitas baru yang ditenagai AI. Dua aspek membuat hoaks jenis ini jauh lebih berbahaya: kualitasnya yang sangat meyakinkan dan skalabilitasnya yang memungkinkan konten palsu ini diproduksi secara massal dalam waktu singkat.

gambar dibuat dengan AI
gambar dibuat dengan AI

Dampak yang ditimbulkan oleh hoaks sintetis ini jauh lebih cepat dan merusak. Fondasi utama kepercayaan manusia---"melihat adalah percaya"---kini sedang dihancurkan. Ketika kita tidak bisa lagi memercayai bukti visual atau audio, pilar dasar cara kita memahami dunia menjadi runtuh. Hoaks yang sangat meyakinkan dapat memicu eskalasi konflik sosial, krisis diplomatik, atau bahkan manipulasi pasar saham dalam hitungan jam. Lebih dari itu, teknologi ini memungkinkan terjadinya fitnah yang sempurna. Reputasi seseorang dapat dihancurkan secara permanen dengan "bukti" video atau audio palsu yang sangat sulit untuk dibantah, menjebak korban dalam mimpi buruk digital tanpa jalan keluar yang mudah.

Menghadapi ancaman ini, slogan lama yang kita kenal, "saring sebelum sharing," tidak lagi memadai. Bagaimana kita bisa "menyaring" sesuatu yang secara sengaja dirancang untuk menipu indra kita secara sempurna? Ini menuntut adanya evolusi dalam etika digital kita, yaitu pergeseran menuju skeptisisme kritis. Artinya, setiap pengguna media sosial kini memiliki tanggung jawab etis untuk tidak serta-merta memercayai sebuah konten---terutama jika konten tersebut bersifat sensasional atau provokatif---bahkan jika disajikan dalam bentuk video atau audio. Kewajiban baru kita adalah secara aktif mempertanyakan keaslian konten dan melakukan verifikasi silang melalui berbagai sumber berita terpercaya sebelum mengambil kesimpulan, apalagi menyebarkannya.

gambar dibuat dengan AI
gambar dibuat dengan AI

Tentu, solusi harus datang dari berbagai pihak: platform media sosial wajib mengembangkan teknologi deteksi yang canggih dan pemerintah perlu merumuskan regulasi yang adaptif. Namun, secara pribadi, saya merasa ada kecemasan baru saat berselancar di dunia maya; sebuah kesadaran bahwa apa yang saya lihat dan dengar mungkin hanyalah ilusi yang diciptakan oleh kode. Di "era baru kebenaran" ini, literasi digital dan skeptisisme kritis bukan lagi sekadar keahlian tambahan, melainkan sebuah kewajiban etis fundamental untuk melindungi kewarasan kolektif kita. Pada akhirnya, benteng pertahanan terakhir kita melawan tsunami disinformasi AI bukanlah algoritma atau teknologi tandingan, melainkan nalar kritis dan tanggung jawab etis yang tertanam di dalam diri setiap individu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun