Seks dalam  hal untuk ilmu estetika, tidak hanya dengan inferensi logis, tetapi dengan kepastian intuisi,  pengembangan berkesinambungan dari seni terikat dengan dualitas Energi kreatif yang bersaing: sama seperti prokreasi bergantung pada dualitas jenis kelamin, yang melibatkan perselisihan abadi dengan hanya rekonsiliasi intervensi yang dilakukan secara berkala.
Maka symbol Candi Sukuh adalah bentuk tragedi Indonesia lama [Jawa Kuna] mencapai kebesaran melalui penyertaan dua energi kreatif  terjalin: antara [a] terkendali dan rasional,  bertanggung jawab, [b[ bersemangat dan tidak rasional, yang mengilhami kemenjadian manusia dalam seni.
Seks sebagai seni  ingin meyakinkan kita tentang kegembiraan eksistensi abadi: hanya kita yang mencari kesenangan ini bukan dalam fenomena penampakan, tetapi di belakang topeng atau selubung. Kita harus menyadari  semua yang muncul harus siap untuk akhir menyedihkan;  dipaksa untuk melihat teror menyakitkan pada  keberadaan individu  namun kita tidak menjadi kaku dengan rasa takut: kenyamanan metafisik merobek kita sejenak dari hiruk pikuk tokoh metafisik yang berubah.
Seni  sebagai media yang melaluinya  dipersatukan, membahas perjuangan pahlawan tragis dengan nasib, kemenangan tatanan moral dunia, dan katarsis emosi melalui tragedi.  Seni yang hebat menawarkan cara mengkonseptualisasikan hidup sebagai bermakna jika menganggap diri sendiri sebagai seniman yang menciptakan makna hidup dengan mempertimbangkan baik alasan maupun emosi.
Penamaan dua energi kreatif istilah  mewakili cahaya dan kebenaran menginspirasi struktur atau tatanan, dan  mewakili  pembaruan  menginspirasi  kemabukan: perasaan mabuk seks dengan keindahan hidup.
Maka seks sebagai seni hadir dalam penggabungan antara rasional dan irasional. Energi artistik ini, berasal dari alam sendiri, "tanpa mediasi seniman manusia" dan diekspresikan dalam bentuk gambar melalui mimpi-mimpi yang menciptakan "perasaan mistik Keesaan" atau Jawa menyebutnya menyatunya alam bumi dan langit pada malam hari melalui embun symbol sperma kehidupan.
Seks sebagai seni wujud nyata pada perasaan kagum dan sakit menyatukan semua manusia. Tantangan manusia adalah terus berjuang untuk menciptakan kehidupan yang indah bahkan dalam menghadapi keabadian penderitaan. Melalui Seni dan dalam kehidupan manusia menyaksikan kekuatan emosi, kekuatan transformatif dari "keracunan gairah".
Hasrat semacam itu dapat bersifat konstruktif atau destruktif dan karenanya perlu didukung oleh rasionalitas. Dengan cara ini, perpaduan dua energy  dapat mengubah diri, menciptakan seorang seniman dan pecinta kehidupan. Tetapi kendala yang muncul adalah kekaguman  kualitas  seni bisa begitu kuat sehingga menghalangi untuk berusaha memilikinya. Karena seks sebagai seni bukan semata-mata tiruan dari realitas alam, tetapi sebenarnya merupakan pelengkap metafisik dari realitas alam, yang diletakkan di sampingnya untuk penaklukannya.
Akhirnya keinginan untuk menciptakan secara terus-menerus adalah vulgar dan mengkhianati kecemburuan, iri hati, ambisi. Jika seseorang adalah sesuatu, ia benar-benar tidak perlu membuat apa pun dan yang satu tidak banyak. Ada di atas manusia 'produktif' Â spesies yang lebih tinggi. Bukankah episteme seks sebagai seni wujud upaya agar pikiran manusia yang bengkok menjadi lurus.