Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sigmund Freud Fenomena Organ Penis, dan Vagina [15]

27 Juli 2019   02:04 Diperbarui: 27 Juli 2019   02:05 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sigmund Freud Fenomena Organ Penis dan Vagina [15]

Tulisan ini adalah bagian tinjuan pustaka pada penelitian episteme filsafat seksuasi studi etnografi pada Candi Sukuh Jawa Tengah tahun 2012 lalu. Tulisan ini adalah bedah literature Sigmund Freud [1856-1939] dengan tema [Three essays on the theory of sexuality]. Saya lebih suka menyebut buku ini sebagai Sigmund Freud (1856-1939) pada Tiga Kontribusi terhadap Teori Seksual [1910].

Pada tulisan saya ini melakukan trans substansi filsafat  Seksuasi Sigmund Freud [1856-1939] dalam tafsir hermeneutika berdasarkan novelty filsafat Prof Apollo [2012-2016]  sebagai berikut:

Dalil [1] Prof Apollo [2016]: Seks Adalah kehendak metafisik sebagai wujud penderitaan manusia yang menjadi keabdaian, dalam upaya pelestarian species umat manusia.

Dalil [2] Prof Apollo [2016]: Seperti Kehidupan, Seks itu datang dengan sendirinya tanpa di undang, maka sikap paling luhur manusia pada seks adalah [iya sekaligus tidak].

Dalil [3] Prof Apollo [2016]: Seks adalah Seni.

Pada dalil [1] Seks adalah kehendak metafisik sebagai wujud penderitaan manusia yang menjadi keabdaian, atau dengan kata lain pengalaman menghasilkan penderitaan atau rasa sakit. Sakit waktu hamil, melahirkan, membesarkan, mendidik, mengambil semua harta benda materi, pengorbanan batin sebagai sebuah keharusan yang tidak dapat dihindari. Sama dengan dalil [2] kehadiran sakit dan penderitan tidak bisa lulus pada kehidupan manusia. Iya sakit penyakit tidak hanya dimakni pada lahiriah, tetapi batiniah bahkan melampaui kedua-nya. Serangga menyengat, bukan karena kedengkian, tetapi karena mereka ingin hidup. Itu sama dengan kritik  mereka menginginkan darah kita, bukan rasa sakit kita.

Rasa sakit dan pengalaman atau penyakit secara subtil tidak untuk dinikmati, dan dimintai, tidak juga iya seluruhnya, dan tidak juga ditolak secara sewenang-wenang; tetapi sebagai moment penting untuk menggali pertanyaan paling primordial. Maka sakit dalam keabadian manusia secara keseluruhan  adalah bahan [material cause] untuk menyusun rerangka baru dalam pemahaman polos, apa adanya, jujur, dan apa adanya.

Filsafat seks akan menghasilkan suatu pemahaman pada pada inkarnasi atau keterulangan secara abadi, bukan dipahami pada makna Dhike [takdir] metafisik yang mengajarkan pada predinasti kehidupan yang tidak dapat dibantah melainkan sebagai seni atau daya kreatif menghasilkan novelty pada sesuatu yang baru.

Pengalaman adalah mimesis atau seni [mengcopy ulang] pengalaman-pengalaman, digeluti, dipikul secara terus menerus dan ditafsir ulang dengan cara unik dan berbeda sampai menemukan pengalaman eksistensial yang tak berubah.

Seks sebagai peristiwa tragedy kemanusian yang membawa akibat kekekalan penderitaan [penyakit] dapat dipahami sebagai seorang seniman dan bukan seni dalam artian gaya hubungan badan, atau style seks.  Seni dipahami sebagai  Energi kreatif yang bersaing, dalam dimensi [a] kecerdasan rasional yang dingin, sedangkan [b]  aspek emosional yang penuh gairah. Hal ini penting untuk menyeimbangkan keduanya dan melihat ini digambarkan terbaik melalui karya seni seperti Tragedi Seksuasi pada Candi Sukuh Jawa Tengah. Kita mungkin berpendapat bahwa keseimbangan antara kepala dan hati ini masih sama pentingnya. Kita, sebagai manusia, adalah pencipta yang menghasilkan sesuatu: benda, pikiran, dan tindakan.

Seks dalam  hal untuk ilmu estetika, tidak hanya dengan inferensi logis, tetapi dengan kepastian intuisi,  pengembangan berkesinambungan dari seni terikat dengan dualitas Energi kreatif yang bersaing: sama seperti prokreasi bergantung pada dualitas jenis kelamin, yang melibatkan perselisihan abadi dengan hanya rekonsiliasi intervensi yang dilakukan secara berkala.

Maka symbol Candi Sukuh adalah bentuk tragedi Indonesia lama [Jawa Kuna] mencapai kebesaran melalui penyertaan dua energi kreatif   terjalin: antara [a] terkendali dan rasional,   bertanggung jawab, [b[ bersemangat dan tidak rasional, yang mengilhami kemenjadian manusia dalam seni.

Seks sebagai seni   ingin meyakinkan kita tentang kegembiraan eksistensi abadi: hanya kita yang mencari kesenangan ini bukan dalam fenomena penampakan, tetapi di belakang topeng atau selubung. Kita harus menyadari  semua yang muncul harus siap untuk akhir menyedihkan;   dipaksa untuk melihat teror menyakitkan pada  keberadaan individu  namun kita tidak menjadi kaku dengan rasa takut: kenyamanan metafisik merobek kita sejenak dari hiruk pikuk tokoh metafisik yang berubah.

Seni   sebagai media yang melaluinya   dipersatukan, membahas perjuangan pahlawan tragis dengan nasib, kemenangan tatanan moral dunia, dan katarsis emosi melalui tragedi.  Seni yang hebat menawarkan cara mengkonseptualisasikan hidup sebagai bermakna jika menganggap diri sendiri sebagai seniman yang menciptakan makna hidup dengan mempertimbangkan baik alasan maupun emosi.

Penamaan dua energi kreatif istilah  mewakili cahaya dan kebenaran menginspirasi struktur atau tatanan, dan  mewakili   pembaruan  menginspirasi  kemabukan: perasaan mabuk seks dengan keindahan hidup.

Maka seks sebagai seni hadir dalam penggabungan antara rasional dan irasional. Energi artistik ini, berasal dari alam sendiri, "tanpa mediasi seniman manusia" dan diekspresikan dalam bentuk gambar melalui mimpi-mimpi yang menciptakan "perasaan mistik Keesaan" atau Jawa menyebutnya menyatunya alam bumi dan langit pada malam hari melalui embun symbol sperma kehidupan.

Seks sebagai seni wujud nyata pada perasaan kagum dan sakit menyatukan semua manusia. Tantangan manusia adalah terus berjuang untuk menciptakan kehidupan yang indah bahkan dalam menghadapi keabadian penderitaan. Melalui Seni dan dalam kehidupan manusia menyaksikan kekuatan emosi, kekuatan transformatif dari "keracunan gairah".

Hasrat semacam itu dapat bersifat konstruktif atau destruktif dan karenanya perlu didukung oleh rasionalitas. Dengan cara ini, perpaduan dua energy  dapat mengubah diri, menciptakan seorang seniman dan pecinta kehidupan. Tetapi kendala yang muncul adalah kekaguman   kualitas   seni bisa begitu kuat sehingga menghalangi untuk berusaha memilikinya. Karena seks sebagai seni bukan semata-mata tiruan dari realitas alam, tetapi sebenarnya merupakan pelengkap metafisik dari realitas alam, yang diletakkan di sampingnya untuk penaklukannya.

Akhirnya keinginan untuk menciptakan secara terus-menerus adalah vulgar dan mengkhianati kecemburuan, iri hati, ambisi. Jika seseorang adalah sesuatu, ia benar-benar tidak perlu membuat apa pun dan yang satu tidak banyak. Ada di atas manusia 'produktif'  spesies yang lebih tinggi. Bukankah episteme seks sebagai seni wujud upaya agar pikiran manusia yang bengkok menjadi lurus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun