Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Debat Calon Presiden Wakil Presiden dan Tradisi Akademik [1]

13 Februari 2019   13:18 Diperbarui: 13 Februari 2019   13:26 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Debat Calon Presiden Wakil Presiden dan Tradisi Akademik [1]

debat Debat Calon Presiden   Wakil Presiden dan Tradisi Akademik dikaitkan dengan tiga (3) tradisi akademik yakni retorika, dialektika, dan logika. Tiga tatanan ini adalah "Diskursus" ilmu atau disebut wacana dengan mengedepankan : logika, retorika, dialektika.

Tradisi akademik ini adalah gagasan pada era tradisi Yunani disebut teks Plato atau   Platon Symposium ini membahas dan mencari "pengertian" apa itu cinta, dalam debat pidato yang panjang, saling memvalidasi pengetahuan, sehingga mampu membuat pengertian "cinta" secara benar, baik, indah, dan adil, dan pasti.

Metode dialog atau debat adalah "metode elenchus", atau pemeriksaan silang, mendefinisikan metode dialektika Platon, dan Socrates. Artinya debat Debat Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Tradisi Akademik harus mengedepankan metode elenchus", atau pemeriksaan silang, atau apa yang didiskusikan harus menggunakan "data" yang valid dan reliable, dan bisa diuji ulang data tersebut. Debat Calon Presiden  tanpa "metode elenchus", atau pemeriksaan silang, hanya akan menimbulkan fitnah, gosib, atau sentiment pribadi dan bukan argument yang mencerahkan atau mendidik calon pemilih. Data yang dimaksud bisa data primer, data sekunder misalnya data dari Badan Pusat Statistika, atau hasil penelitian empiric (ada fakta dan data).

Maka mutu Debat Calon Presiden memenuhi kaidah yang baik harus didasarkan pada kemampuan adu argumenasi dan sylogisme (premis major, minor, dan hipotesis) untuk menyimpulkan sesuatu itu salah dan benar. Data statistika (berupa fakta), dan logika (matematika atau silllogisme) digabungkan menjadi episteme (tatanan ilmu bertaggungjawab) di setiap sesi dialog Debat Calon Presiden yang bermutu. Maka tim sukses pada Debat Calon Presiden harus menyediakan ruang bagi kemungkinan ini sehingga tidak meninggalkan pertanyaan yang tidak tuntas, belum finalitas, dan memungkinkan berbagai macam interprestasi di masyarakat.

Debat Calon Presiden Wakil Presiden dan Tradisi Akademik yang idial harusnya menggunakan referensi pada dokrin  Immanuel Kant: Critique of Judgment (aesthetics) atau seni atau keindahan tutur kata pada kebenaran universal; Critique of Pure Reason (Pikiran) menunjukkan ketepatan logika dan fakta yang disimpulkan untuk kritik lawan debat ; Critique of Practical Reason (moral) atau nilai kehendak baik adalah baik bagi hukum umum umat manusia.

Debat calon presiden yang bermutu harus ajang  episteme data, dan logika melalui interogasi. Jika meminjam teks Platon Symposium, 198a-201c. Metode dialektik mendorong untuk mempertanyakan klaim dan dasar di mana membuat pengertian yang benar. Misalnya sejauhmana selama ini pembangunan nasional itu bisa diwujudkan, melalui angka dan data. Dimana titik kelemahan atau tantangan yang gagal di atasi.

Pada  "metode elenchus", atau pemeriksaan silang, gagasan Socrates adalah upaya mencaru akar, dan  menggali asumsi dan alasan yang mendasari klaim-klaim tertentu dan memaparkannya pada pemeriksaan data angka dan logika matematika sampai pada simpulan yang bertanggungjawab secara etika (aksiologis). Ini menekankan penalaran yang cermat, pemikiran logis, dan perlunya mencapai kesepakatan di setiap tahap dialektika atau tahapan  Debat Calon Presiden dan Wakil Presiden. Dalam dialog atau debat atau diskurus yang sudah dilakukan beberapa waktu lalu saya mengamati dan meneliti per kata dan ucapan sangat minimum menggunakan data, dan "metode elenchus", atau pemeriksaan silang, gagasan, sehingga secara tradisi akademik belum memadai.

Justru yang muncul pada Debat Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah kurang memiliki tingkat tinggi dalam kehati-hatian, memunculkan kesan mengolok-olok retorika lawan-lawannya dan mempersiapkan audiensi untuk pidato sederhananya dengan menggunakan kisi-kisi. Atau hanya permainan kata-kata (retorika), tanpa fakta atau logika benar, indah, dan baik dalam rangka membangun peradaban Indonesia yang berdasarkan dokrin Negara UUD 1945 dan Pancasila. Maka diskursus yang idial adalah menggunakan konteks "res publica" atau kebenaran wilayah public berdasarkan tradisi akademik yakni logika, dan empirika. Maka dalil utama dalam tradisi akademik adalah "berbicara tanpa data dan tanpa logika adalah berbohong".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun