Lalu apa konstribusi pemikiran Betti dalam bidang hermeneutika. Betti memfokuskan pada hakekat obyektif interprestasi itu sendiri. Terdapat tiga rerangka pemikiran Betti dalam bidang interprestasi (hermeneutika)
Pertama (1), obyek interprestasi adalah mental mind (Geist) yang diungkapkan dalam bentuk perasaan. Artinya ada distingsi antara fenomena memberi pemahaman atau sinngebung (fungsi penafsir makna terhadap obyek yang disamakan dengan "auslegung" (penjelasan atau interprestasi), untuk tugas ilmu kemanusian.Â
Kompetensi  rekonstruksi makna, transposisi kondisi asing dan berbeda dilakukan dengan mengkonversi makna teks secara  kreatif. Auslegung, yaitu bagaimana mendapatkan sebuah bentuk penafsiran yang valid dan objektif bukan Deutung, atau spekularive Deutung. Pemahaman  atau sinngebung lebih tepat disebut "setuju". Maka ada dua hal indicator kompetensi tersebut (a) kesadaran adanya bayang bayang tradisi (b)  repleksi diri dalam sejarah.
Kedua (2), makna adalah totalitas dari bagian-bagian dalam individu. Terdapat korelasi makna dalam koherensi  dari bagian-bagaian untuk memahami keseluruhan. Memahami satu buku teks harus dipahami perkata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragaraf, paragaraf menjadi satu halaman, beberapa halaman menjadi bab, maka beberapa bab menjadi 1 buku.
Ketiga (3) makna kekinian atau aktualitas  sebagai keterikatan dengan kepentingan penafsir  dalam kondisi sekarang ini yang dilibatkan dalam setiap pemahaman atau kesadaran anak zaman sekarang. Atau pemahaman tidak terpisah dari pengalaman, atau rekonstruksi tentang dunia
Implikasi tulisan ini terutama kita perlu belajar banyak untuk mengambil ketekunan tradisi akademik di Eropa pada umumnya (lihat banyaknya definisi hermeneutika), yang sangat berbeda dengan pada keengganan mahasiswa pada pendidikan sarjana, dan pascasarjana selama saya sebagai pembimbing, promotor, dan co-promotor.Â
Pengalaman saya selama ini ada keengganan para mahasiwa pada umumnya (tidak semuanya) untuk merevisi proses hasil bimbingan, hasil telahaan sidang proposal, ujian naskah disertasi, ujian tertutup, bahkan sampai ujian terbuka. Sering sekali  pengalaman (keungganan) pendidik dan peserta didik untuk meniru ketekunan tradisi akademik masih jauh dari idial.Â
Pada kasus revisi skripsi, tesisi, disertasi  bukan demi ilmu, tapi demi orientasi lulus. Alasannya macam-macam dibatasi oleh waktu dan masa studi. Alasan bayar lagi, atau alasan apapun yang penting lulus, dan kalau lama dianggap mempersulit. Mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama supaya tradisi akademik ketekunan seperti selisih paham antara Gadamer vs Betti sehingga menghasilkan diskursus yang bermutu. ****