Mohon tunggu...
Bakri Dahlan Pasangkie
Bakri Dahlan Pasangkie Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Seorang yang pernah menjadi wartawan di beberapa media seperti Harian Fajar, Pedoman Rakyat dan Tegas.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketua RT/RW sebagai Mesin Politik

8 November 2021   12:08 Diperbarui: 8 November 2021   12:28 1215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Ketua Rukun Warga (RW) selama ini menjadi incaran banyak pihak khususnya partai politik dan person yang ingin menjadi anggota legislatif atau kepala daerah. Ketua RW/RT yang berinteraksi langsung dengan warga merupakan mesin efektif untuk mendukung suara sebanyak-banyaknya.

Begitu pentingnya posisi Ketua RT/RW mendulang suara di tengah masyarakat sehingga menjadi rebutan partai politik setiap perhelatan politik diselenggarakan. Para Ketua RT/RW yang merasa dirinya diperlukan akhirnya terjerumus dalam politik praktis. Saat ini kata "netral" Menjadi lelucon dan tidak lagi dianggap serius.

Mengapa sampai Ketua RT/RW terjerumus dalam dunia politik praktis? Beberapa faktor penyebabnya adalah, pertama, adanya janji manis dari calon kepala daerah maupun calon anggota legislatif, baik itu berupa materi atau jabatan. Masalahnya, semua calon menjanjikan hal yang sama meskipun dengan bahasa yang berbeda-beda.

Kedua, sebagian Ketua RT/RW berlatang belakang kurang mapan secara ekonomi. Setiap perhelatan politik dilihat sebagai ladang mendapatkan keuntungan. Bahkan ada yang berani menjanjikan kemenangan diwilayahnya asal calon kepala daerah atau calon anggota legislatif berani melakukan politik uang.

Ketiga, masa jabatan ketua RT/RW tidak terbatas waktu. Berapa periode pun, sepanjang warga masih mempercayakan pilihannya, maka jabatan Ketua RT/RW bisa berlangsung seumur hidup. Kalau perlu jabatan Ketua RT/RW diturunkan kepada anak, saudara, isteri atau anggota keluarga lainnya.

Dulu jabatan Ketua RT/RW sama sekali tidak menarik. Jarang kita menjumpai orang yang ingin menjadi Ketua RT/RW. Disamping imbalan yang diterima sangat tidak memadai, jam kerjanya pun tidak menentu. Kalau dibutuhkan mereka harus selalu siap 24 jam penuh, disebabkan banyak persoalan yang terjadi di masyarakat.

Kini perhatian terhadap nasib Ketua RT/RW semakin membaik. Gaji bulanan sudah tersedia. Setiap pemilihan Ketua RT/RW tidak lagi diisi calon tunggal. Masyarakat sudah memiliki beberapa pilihan.

Hanya saja, akibat terlibatnya Ketua RT/RW dalam Politik praktis begitu dalam, muncul masalah serius. Contoh, dalam Pilkada Kota Makassar lalu. Ketua RT/RW di Makassar terbelah. Mereka memiliki calon masing-masing. Terjadi saling tuduh dan saling ancam diantara mereka.

Akibatnya, kepala daerah yang memenangkan pemilihan sepertinya akan melakukan "balas dendam" politik dengan membatasi ruang gerak Ketua RT/RW yang menurut tim sukses tidak mendukung. Kalau bisa mencopotnya dari posisi Ketua RT/RW. Minimal menghambat mereka kembali terpilih pada pemilihan Ketua RT/RW selanjutnya. Muncullah usulan pemilihan Ketua RT/RW secara langsung dihapus saja. Ketua RT/RW sebaiknya diangkat dan diberhentikan oleh walikota atau bupati saja.

Bagi penulis, Ketua RT/RW tetap harus dipilih secara langsung oleh masyarakat. Warga sekitarlah yang bisa melihat, mengerti dan memahami betul siapa diantara mereka yang paling layak menjadi Ketua RT/RW. Bukan lurah, bukan camat apalagi walikota atau bupati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun