Sepagi itu, saya pikir udara bersih memang telah lama pergi. Hilir-mudik kendaraan terlihat jelas dari pelataran masjid yang satu persatu ditinggal jamaah sehabis subuh. Aroma embun di rumput halaman masjid masih terasa kentara sekali. Di dalam masjid, masih tersisa beberapa jamaah yang tiduran, membaca al-Quran dan hanya duduk saja atau diskusi dengan rekannya.
Matahari yang terus menukik membawa kesegaran ke teras masjid yang sepi itu. Air keran dibuka orang yang sedang berwudhu terdengar begitu saja. Itu adalah jamaah yang bersiap untuk salat sunat pagi -- salat dhuha. Hari libur begini, banyak sekali orang ke masjid karena tidak disibukkan oleh aktivitas segudang. Menikmati masa yang lewat selama puasa di dalam masjid terasa sangat menimbulkan hasrat untuk segera berubah.
Sayup terdengar lantunan ayat-ayat al-Quran dari entah siapa 'qari' di dalam masjid. Suara itu silih berganti dari satu sudut ke sudut lain. Jamaah yang duduk bergerombolan, sedang berdiskusi keagamaan mungkin, tidak pula terdengar debat yang begitu panjang. Sujud satu dua jamaah lain dalam iktikaf panjangnya, akan membawa ketenangan lahir dan batin.
Hawa di dalam masjid terasa lebih dingin dibandingkan dengan kamar yang beraroma terapi. Lantai keramik cukup ambil bagian dalam menghadirkan kesejukan itu. Belum lagi atap tinggi dengan lukisan Arab di tiap celahnya. Lampu-lampu yang telah mati seolah bercahaya untuk menerangi siapa saja yang duduk di atas karpet merah.
Masjid itu, saksi bisu tsunami Aceh tahun 2004 silam. Ribuan kenangan hadir di pelataran, lantai dua maupun atap sekalipun. Meski, belum seutuhnya memancarkan cahaya kala itu, masjid dengan bongkahan keemasan di kubahnya telah memberikan kesejukan. Seorang teman pernah berkata, "Kami lari ke masjid, di sana sudah ramai sekali orang,"
Nada suaranya memburu, saya ikut hanyut dalam suasana. "Tak ada tempat lain untuk dituju, semua orang menyeru untuk ke masjid," saya masih mendengarkan.
"Ayo ke masjid, ayo ke masjid, ayo ke masjid!" ujarnya dengan suara lantang, mempraktikkan apa yang dirinya dengar dan lihat waktu itu.
"Kau ikut lari ke masjid?" tanya saya.
"Aku ikut, kami semua ikut!"
"Tak kau lihat masjid ini rendah sekali?"
"Kami tak tahu, aku tak tahu. Kami berhamburan ke dalam masjid, ke lantai dua, ke atap, entah bagaimana mereka naik ke atas sana!"
"Kami percaya aman di dalam masjid!" ujarnya lagi dengan nada yakin.
Â
Saya menikmati desiran angin yang tiba-tiba menusuk dada. Belum lekang ingatan dari musibah besar itu. Saya tahu kemudian, semua orang yang berlindung di dalam masjid ini selamat dari tsunami.
"Kami semua selamat, kami berangkulan dan mengucap syukur!" ujarnya dengan suara sedikit parau. Saya tahu bagaimana rasanya diburu air bah. Namun, saya tidak berada di area masjid ini karena masa itu langkah saya dituju ke masjid lain di Banda Aceh, juga masjid yang menyelamatkan banyak nyawa dari tsunami yaitu Masjid Kopelma Unsyiah.
Kembali ke sini, saya duduk di teras dengan kaki telah tersarung sandal. Warna orange masjid ini terasa kuat sekali. Sekali lagi, saya melihat ke dalam, lalu menengadah ke atas, menikmati kubah yang tinggi. Inilah masjid kebanggaan kami. Masjid dengan sejuta pesona. Masjid dengan banyak kenangan pahit semasa tsunami. Masjid yang kini dituju oleh banyak orang dan disinggahi oleh mereka yang melintasi barat selatan Aceh. Masjid Agung Baitul Makmur, begitu nama yang tertera di halaman depan, di Jalan Imam Bonjol, Desa Seunebok, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat.
Sekilas Sejarah Masjid Agung Baitul MakmurÂ
Saat kamu berdiri di depannya, bangunan yang dirancang oleh artitek Alwin Abdullah ini langsung menghipnotis dengan suasana mediterania yang kental. Pemilihan warna yang menjadi ciri khas Timur Tengah menjadi daya tarik tersendiri. Tahun 1987 adalah masa di mana peletakan batu pertama pembangunan masjid yang kemudian diresmikan pada tahun 1999. Bangunan ini dibangun di atas tanah seluas 5,2 hektar dengan luas bangunan 3.500 persegi.
Keindahan dari masjid ini langsung terasa begitu kita melewati gerbang utama yang menyerupai Arch de Triomphe yang terletak di pusat kota Paris, Perancis. Romantisme Eropa dipadu dengan Timur Tengah tak lain membawa sisi berbeda saat ber-iktikaf di dalamnya. Teddy Tjokrosaputro dan Aryananda memasukkan Masjid Agung Baitul Makmur ke dalam 100 masjid terindah di Indonesia dalam bukunya yang disusun tahun 2008.

Sama dengan masjid lain, Masjid Agung Baitul Makmur memiliki kubah yang tak hanya indah tetapi merupakan identitas dari masjid itu sendiri. Warna cokelat keemasan memancarkan cahaya yang berbeda dengan 3 kubah besar, 2 kubah kecil di depan kubah besar, dan 2 kubah besar pada dua menaranya di kiri dan kanan. Kubah-kubah ini menambah ciri khas yang tiada dua dan merupakan salah satu bangunan tertinggi di kota Meulaboh.


Iktikaf -- berdiam diri -- di dalam masjid tampak jelas sekali. Saya tidak bisa menafikan orang yang lalu-lalang di halaman pagi itu -- dan pagi-pagi lain yang lewat dan akan datang. Mereka membawa senyum dalam bibir yang tidak basah. Mereka membawa harapan untuk ketenangan selama Ramadan. Mereka memanjatkan doa untuk kedamaian hati dan jiwa dalam masa depan panjang.



Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI