Setiap negara di dunia tentunya selalu berusaha untuk memenuhi national interest-nya, begitupun dengan Tiongkok. Keinginan Tiongkok untuk menghidupkan kembali Jalur Sutra kuno melalui dua sumbu utama, yaitu Jalur Sutra Darat dan Jalur Sutra Laut, dipandang luas sebagai kebijakan luar negeri dan strategi ekonomi politik Tiongkok.
Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang memainkan peran dalam upaya China menghidupkan kembali Jalur Sutra Maritim. Pasalnya, jalur yang dibangun untuk menghubungkan Timur dan Barat ini melintasi Indonesia. “The New Silk Road: One Belt One Road” merupakan sebutan dari kebijakan dalam pembangunan kembali jalur ini. Hal ini merupakan salah satu hal yang melatar belakangi terjadinya Diplomasi Panda yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap Indonesia.
Diplomasi Panda bukanlah jenis diplomasi yang baru dilakukan oleh Tiongkok. Diplomasi Panda ini sudah ada sejak lama bahkan sejak masa Dinasti Tang pada tahun 618-907. Ketika itu, Permaisuri Wu Zetian mengirimkan dua Panda dan 70 potongan bulu ke Jepang sebagai hadiah kenegaraan. Diplomasi tersebut terus dilakukan dan menyebar ke berbagai belahan dunia. Diplomasi Panda terjadi di Indonesia pada tahun 2017, ditandai oleh datangnya kedua Giant Panda bernama Hu Chun dan Cai Tao. Kehadiran Hu Chun dan Cai Tao di Indonesia dapat berdampak besar bagi hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok.
Hadirnya kedua panda tersebut juga dapat dipandang sebagai usaha memperkuat kepentingan negara Tiongkok dalam Foreign Direct Investment dan kebijakan The Belt and Road Initiative di Indonesia. Soft diplomasi yang dilakukan melalui panda tersebut merupakan salah satu strategi soft power yang sedang dilakukan Tiongkok. Selain itu, dengan datangnya panda ke Indonesia juga dapat membangun kepercayaan terhadap investor yang berasal dari Tiongkok untuk bermitra atau berinvestasi di Indonesia, khususnya dalam bidang industri e-commerce dan infrastruktur.
Analisa yang saya lakukan terhadap kasus ini menggunakan pendekatan melalui paradigma Neoliberalisme dan teori Soft Power. Teori Neoliberalisme menggambarkan hubungan internasional yang memiliki konsep rasionalitas, dan kontrak, serta memberikan fokus pada peranan institusi dan organisasi dalam politik internasional. Yang menjadi tujuan utama neoliberalisme adalah perhatian terhadap upaya kerja sama antar negara dengan aktor lain dalam sistem internasional.
Alasan penulis menggunakan pendekatan melalui teori Neoliberalisme adalah karena adanya korelasi antara peristiwa kebijakan diplomasi Panda yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap Indonesia dengan teori Neoliberalisme. Pendekatan kedua yang dilakukan adalah pendekatan melalui teori Cultural Diplomacy, Teori pendekatan kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori “Cultural Diplomacy” yaitu merupakan diplomasi publik dan termasuk “Soft Power Diplomacy” yang mencakup pertukaran ide, seni, bahasa, informasi, dan aspek budaya lainnya di antara negara-negara dan masyarakatnya untuk menumbuhkan kepercayaan satu sama lain, dalam hal ini aspek budaya yang diambil adalah penggunaan Panda.