Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bijak Menyikapi Wabah

4 Juni 2020   10:16 Diperbarui: 4 Juni 2020   10:15 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : goodindonesia

Perbedaan pendapat menyikapi wabah ini hampir di tiap daerah terjadi. Masyarakat kita yang sudah bosan diminta diam di rumah, tempat-tempat ibadah ditutup tentunya menjadi kekhawatiran mereka dengan logika awam. Bahwa bala' itu ya dihadapi dengan banyak-banyak berdoa bersama, tetapi wabah kali ini justru menuntut mereka untuk tidak berkumpul. Selain itu tindakan represif aparat juga semakin menyulut logika awam itu untuk melakukan pembangkangan sipil religius (civil religious disobedience) dalam melawan logika medis yang menuntut mereka menghindari kerumunan, di tempat ibadah sekalipun.

Fatwa MUI ataupun edaran pemda itu juga tidak berarti apa-apa jika semua dipukul rata menggunakan dalil Rukhshah uzur syar'i boleh meninggalkan ibadah jamaah, termasuk shalat jumat . Masyarakat kita yang mayoritas merasa tidak pernah ke mana-mana hanya sekitar sawah-rumah yang menjadi rutinitas mereka, apa wajar juga dibubarkan untuk ibadah jamaahnya, ini yang menjadi permasalahan. Kecuali memang di wilayah itu sudah jelas ada yang positif, semua harus mendukung untuk pencegahan penularan.

Tetapi banyak wilayah juga masyarakat nya tidak pernah ke mana-mana, tetapi diharuskan juga untuk tidak boleh berjamaah. Logikanya itu minoritas positif corona mengalahkan mayoritas masyarakat yang tidak terjangkit, semua yang terkena dampak ikut juga diisolasi. Jika memang di wilayah itu potensi penyebaran cukup besar, ya segala upaya harus dilakukan, termasuk juga menutup masjid sebagai konsentrasi terkumpul nya warga.

Akan tetapi jika cukup aman dan jauh dari wilayah terdampak, kiranya tidak perlu ada kekhawatiran berlebih atas itu sehingga menimbulkan perpecahan di masyarakat. Membuka kembali masjid, ibadah jamaah di wilayah-wilayah yang cukup aman dari penyebaran tetap harus dengan protokol kesiagaan, misalnya menggunakan masker, tersedia tempat cuci tangan sebelum masuk masjid, semua area masjid disemprot disinfektan dulu, masyarakat yang sakit tidak boleh datang, dan masih banyak hal-hal yang bisa diupayakan dari pada direpresif dengan logika-logika kekhawatiran yang justru menimbulkan perlawanan dari masyarakat yang mapan dengan logika awam religius nya.

Melawan Bala'                                                    

Bahkan muncul ungkapan di masyarakat kita jika karena wabah saya meninggal di dalam masjid logika mereka menyebut itu syahid. Tentunya logika ini tidak perlu dilawan karena itu menjadi keyakinan mereka bahwa masjid sebagai rumah Tuhan tidak mungkin menjadi tempat bala' yang seharusnya tempat itu dipenuhi untuk mengusir bala'.

Akan tetapi logika medis pun mempunyai cara kerja sendiri ketika meminta masyarakat untuk tidak berkumpul dahulu meski di dalam masjid. Bisa saja mereka yang datang ke masjid itu sudah pernah berkontak dengan orang positif lalu ia menjadi pembawa virus meski tidak sakit sekalipun.

Perbedaan pendapat ini tentunya berpotensi menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Masyarakat yang mendukung penutupan tempat ibadah sementara, dan yang merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan sehingga masjid harus dibuka. Perlu adanya musyawarah warga untuk menyepakati jika memang masid dibuka tentu harus dibarengi dengan kesiagaan bersama untuk mencegah itu, jika memang wilayahnya jauh dari potensi penyebaran virus. Akan tetapi jika potensi penyebaran cukup rawan, semua harus diberikan pemahaman secara lebih persuasif mengajak warga bersama mendukung gerakan-gerakan warga dalam upaya pencegahan, salah satunya dengan menutup masjid sementara.

Pemerintah daerah juga perlu menurunkan tim kesehatan untuk mengecek wilayah-wilayah yang potensi penularan tinggi, masyarakat harus dituntut untuk menghindari perkumpulan warga. Dan di wilayah-wilayah yang cukup aman dari penularan, mobilitas masyarakat juga tidak terlalu tinggi tentu diperbolehkan untuk ibadah jamaah, membuka kembali masjid, tetapi tetap dengan protokol medis standar yang harus diberikan pemahaman kepada masyarakat.

Jadi ketika ada rekomendasi dari tim kesehatan bahwa wilayah itu potensi penularan cukup tinggi, tokoh agama ataupun tokoh masyarakat juga harus bertindak untuk membahasakan itu ke masyarakat, supaya tidak menimbulkan keterbelahan. Begitu sebaliknya, jika potensi penularan masih aman di wilayah tersebut, mereka boleh untuk melakukan ibadah jamaah seperti biasa.

Musyawarah Pencegahan

Apa yang menjadi permasalahan bersama tentu harus diselesaikan bersama dalam masyarakat tanpa harus berkubu-kubu untuk membuktikan mana yang lebih benar. Tetapi dengan pendapat bersama bisa ditemukan celah-celah untuk kesepakatan dalam menyikapi wabah sehingga kekompakan warga pun tetap mapan untuk membentuk solidaritas sosial. 

Bahkan jika ada yang terjangkit pun tidak semata-mata bisa langsung mengucilkannya, inilah pentingnya pemahaman yang baik di masyarakat terkait wabah ini dari pada sekedar kekhawatiran berlebih yang menimbulkan kecemasan sosial.

Masyarakat kita yang mapan dengan solidaritas sosial, religiusitas, tentu potensi terpecahnya cukup rawan ketika itu dihadapkan pada hal yang mengganggu nilai religiusitas tersebut. Akan tetapi jika semua diberikan pemahaman yang baik terkait penyebaran wabah yang cukup tinggi di wilayahnya, tentu semua juga akan mendukung. Jika masih ada yang membantah, di sinilah peran tokoh agama ataupun tokoh masyarakat untuk mencari jalan tengah bermusyawarah untuk mencari kesepakatan atas itu.

Dengan logika bahwa mobilitas mereka hanya ke sawah dan rumah cukup sadar juga dengan optimisme tidak akan terjangkit wabah. Maka tindakan represif aparat yang membubarkan ibadah jamaah mereka tentu saja akan menyulut emosi. Aparat dengan dalih perintah dari atasan tentu saja harus menggunakan logika dan tindakan persuasif juga sebelum membubarkan kegiatan warga. Tidak sembarang main tangkap, ataupun bertindak di luar batas-batas prosedur yang menimbulkan ketersinggungan warga.

Masyarakat kita sebenarnya rata-rata cukup taat mengikuti anjuran pemerintah, akan tetapi jika itu tidak sesuai dengan logika mereka, tentunya inilah yang perlu dikedepankan musyawarah. Jangan sampai ada yang bertindak sendiri mengumpulkan warga untuk ibadah berjamaah, shalat jumat misalnya, sementara yang lain, yang tidak diajak tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial, hingga masyarakat menjadi berkubu-kubu. Hal ini yang perlu dihindari, dan tetap harus mengedepankan persatuan warga.

Upaya-upaya untuk pencegahan, meningkatkan kewaspadaan tentunya juga penting, tetapi itu tidak serta-merta membolehkan pihak-pihak saling mengklaim atas tindakan mereka yang paling benar. Karena logika di masyarakat pun pastinya banyak perbedaan menyikapi ini. Ada saja yang apatis, yang kekhawatirannya berlebihan, tentunya ini menjadi tantangan bersama terutama pemimpin-pemimpin di tingkat paling bawah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat untuk mengambil peran dalam menjaga persatuan masyarakat. Tidak cukup dengan membiarkan aparat bertindak menjadi pengawas sampai memata-matai aktvitas warga, kontrol bersama dalam masyarakat itu yang lebih penting untuk dimapankan.

Ketika ada warga mereka yang baru datang dari luar daerah, luar negeri, ataupun yang mobilitasnya tinggi keluar dusun, lebih mudah untuk diawasi bersama dan memberikan sanksi yang sama-sama disepakati jika ada yang melanggar terkait pengawasan untuk pencegahan. Ini harus diwujudkan bersama, agar tidak ada lagi kekhawatiran-kekhawatiran dalam masyarakat.

Meskipun itu belum bisa menjadi kepastian selesainya wabah, setidaknya mencegah bersama dari masing-masing wilayah lebih efektif untuk memulai bergerak dari pada menunggu instruksi, anjuran-anjuran yang terkesan ribet dan memakan waktu. Bergerak dari sekarang, atau justru wabah lebih dulu bergerak ke tempat kita.

*Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun