Mohon tunggu...
Baharudin Pitajaly
Baharudin Pitajaly Mohon Tunggu...

penikmat Kopi, peminat ikan Kakap

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Meneropong" DKI Jakarta pada Sudut Berbeda

16 November 2016   12:27 Diperbarui: 16 November 2016   12:38 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : majalahreviewweekly.com

Apa pun motifnya dalam aksi pada 4 November lalu dengan mengusung isu “Menuntut agar Ahok dihukum karena penistaan terhadap agama” dan sederetan isu lainnya.  Dan mendapat respon yang cukup beragam atas aksi tersebut, kini sentar terdengar isu bahwa akan diadakan kembali aksi pada 25 November.

Apakah aksi 25 November yang ramai terdengar itu masih mengusung isu yang sama terkait Ahok atau justru mengangkat isu baru dalam hal ini tentu mengarah pada Mr. Presiden, entah ini modelnya seperti kudeta kekuasaan karena ada sebagian pihak yang belum bisa Move on,pada Jokowi, atau bisa dalam bentuk lain.

Sebagai orang yang tidak berdomisili di Jakarta melihat hal tersebut dari sudut pandang sebatas mengamati apa yang berlangsung di Jakarta jelas akan berbeda, namun sebagai sebuah pendapat ini penting di ungkapkan. Sejauh yang di perhatikan apapun itu bentuk dan alasannya atas aksi menuntut agar Ahok harus di hukum atas penistaan Agama yang di sangkakan padanya itu juga menjadi hal kewajaran.

Dalam ruang demokrasi ini tentu diperbolehkan, hanya kemudian isu seperti ini tentu tidak akan berdiri sendiri tanpa ada sesuatu, sebut saja karena ada momentum demokrasi Pilkada DKI. Ruang demokrasi dengan sistem pasar bebas perebutan kekuasaan selalu dibaluti dengan isu ber-bau SARA, ini sudah tentu akan menarik banyak perhatian publik lepas bahwa hal tersebut benar adanya atau hanya sebatas sekenario untuk menjatuhkan lawan Politik.

Dua hal di atas sangat tipis batasnya ibarta hitam dan putih, dan menjadi distruktif apa bila isu tersebut ditelan bulat-bulat oleh kelompok-kelompok maaf “dengan pemahaman terbatas” sudah dapat dipastikan bahwa muarahnya adalah kegaduhan. Orang seolah tidak dapat lagi menggunakan akal sehatnya untuk menalar, ini menjadi fenomena dan selalu nampak pada ruang Politik Praksis dalam perebutan kekuasaan baik itu Pilkada.

Fenomena seperti ini akan selalu muncul kapan dan di mana pun dalam ranah Politik kekuasaan, jika Politik selalu memiliki kecendrungan mengabaikan konteks kemanusiaan. Akhirnya rakyat dibuat berkelahi seolah-oleh ini murni terjadi tanpa ada upaya provokasi, padahal kita tahu bersama soal semacam ini dalam ranah Politik kekuasaan telah mengadopsi oprasi khusus yang sering di lakukan oleh Inteljen, lajimnya di sebut False Flag Operation.padahal bangsa ini sudah sejak lama meninggalkan Politik barbar yang tak beradab.

Bagi saya menelaah situasi hingar bingar Pilkada DKI hal yang menjadi persoalan paling mendasar dalam soal ini penting dilihat:

“Land locked”, dan inward looking

Sebuah kecendrungan sikap yang berkembangan di kalangan masyarakat melihat “daratan” sebagai satu-satunya sumberkehidupan. Kecendrungan ini membawa implikasi Politik, sosial, dan ekonomi skligus. PertamamentalitasLand locked mewariskan kultur Politik yang secara terus menerus mengeksploitasi daratan beserta seluruh isinya, itu sebabnya Pola Politik yang berkembang adalah Politik memperebutkan kekuasaan di darat. Kecenderungan seperti ini telah di praktekan pada masa Orde Baru dengan sistem politik yang sangat otoritarianisme.

Dalam konteks kasus Pilkada DKI ini bisa di masukan dalam skema analisis seperti ini. Jelas bahwa perebutan Politik kekuasaan di darat adalaah mental Land locked masih ada dalam alam bawah sadar dan terus bergerak. Kedua, Mentalitas Land locked akan berimlikasi pada cara pandang Inward looking yaitu suatu model penalaran lokal yang meyakini bahwa perubahan-perubahan di dalam negeri merupakan kreatifitas murni yang bertumpu pada kondisi lokal.

Misalkan kasus 98 di Era-Reformasi yang telah menjadi mitologisasi dan demistifikasi bahwa kejatuhan rezim otoritarian Orba murni sebuah gerakan semua elemen pro-demokratik yang terorganisir hingga mampu menumbangkan rezim.

Tentu jawabannya tidak jatuhnya rezim Orba, karena tidak lagi dapat sokongan kekuatan internasional seperti Pentagon. Reformasi adalah instrumen yang di gunakan untuk menggulingkan rezim, sementara aktor-aktor pro-demokratik hanyalah perangkat yang melengkapi kesempurnaan jatuhnya sebuah rezim.

Seperti yang telah saya katakan diawal tulisan di atas dalam konteks Pilkada DKI, Apakah setelah aksi pada 4 November lalu menuntut agar Ahok di hukum. atas penistaan terhadap Agama, kemudian nanti akan terjadi aksi susulan pada 25 November dengan asumsi targentnya akan berubah dan mengarah pada Mr. Presiden akan berimlikasi serius atas posisi Jokowi sebagai kepala negara bisa saja tumbang?  Bagi saya ini tentu belum dimungkinkan selama determinan faktornya bergerak dalam pola yang berlawanan.

Determinan faktor yang saya maksudkan adalah kekuatan Internasional, seperti AS atau Cina. Dalam aspek Geo-Politik ini penting dilihat, AS setelah kemenangan Trum bisa saja terjadi perubahan kebijakan secara signifikan baik internal maupun eksternal. Sama halnya dengan Cina lagi dalam kondisi memastikan betul laut Cina Selatan sepenuhnya tidak di ganggu oleh siapa pun itu dan agenda Ekonomi-Politik di Indonesia berjalan sesuia sekenario.

Sebagai kekuatan dominan saat ini Dua kekuatan diatas sebenarnya secara tersirat menjadi penyokong Jokowi. Itu pula menjadi alasan Jokowi masih akan sangat kokoh sebagai Presiden selama kekuatan Internasional masih ada di belakang untuk mendukungnya.

Mentalitas Inlander

Kolonialisme selalu identik dengan upaya negara kolonial membangun dan mengukuhkan Hegemoni baik budaya dan kontrol Politik atas negara jajahan. Hegemoni dan kontrol merupakan dua aspek yang sangat penting dalam upaya kolonialisme, karena dengan itu pemerintah kolonial bisa mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi secara maksimal.

Di Indonesia, upaya menciptakan hegemoni dan kontrol itu dilakukan oleh pemerintah Belanda dengan menerapkan kebijakan klasterisasi sosial penduduk yang dibagi menjadi tiga kelompok. Klas satu Asing Barat (kaum penjajah), klas dua Asing Timur (Arab, Cina, dan India), dan klas tiga atau kelas terendah kaum probumi (Inlander).

Inlanderyang sebetulnya penyebutan kaum pribumi dalam perkembangannya justru berubah menjadi Habitusatau mental yang melekat erat pada anak bangsa baik itu para elit dan klas masyarakat pada umumnya hingga hari ini. Ini terbaca dengan baik ada sikap permisif pada kejahatan yang telah di kategorikan sebagai Extraordinary crimeseperti perbuatan Koruptif.

Mental seperti ini pun terlihat dalam sikap yang sangat rektif dalam merepos sesuatu hal sebut saja sikap membenci Ahok atas dugaan penistaan Agama dan lain sebagainya namun dilain pihak membenarkan perbuatan-perbuatan serta sikap berbau SARA. Yang sebenarnya belum ditalar secara baik akurasi kebenarannya.

Karena kita hidup di nagara hukum sesuatu yang masih bersifat sangkaan yang telah dituduhkan pada Ahok dalam bentuk apapun itu harus dibuktikan secara hukum kalau itu benar bersalah, bukan berputar pada tataran isu semata dan digunakan untuk menjatifikasi orang. Namun bisa sebaliknya kalau hukum hanya berfungsi melindungi si kaya atau memiliki jabatan dan menggilas si miskin dan papah alias “tumpul ketas dan tajam kebawah”.

Mentalitas Inlander pula menurunkan mentalitas yang di kenal dengan Marsose Kompeni,mentalitas seperti ini telah menjadi akut pada elit sudah seperti “naluri hidup” mencari patron pada sesuatu yang dianggap memiliki resourcese sudah pasti akan di bela mati-matian sebagai upaya memenuhi hasrat para taipan dan modal dalam ranah perebutan kekuasan.

Atau justru sebaliknya dengan bentuk dan kemasan lain seperti menyerang calon tertentu secara Politis dengan sangkaan-sangkaan di alamatkan padanya, dengan demikian calon yang mereka usung bisa menuai dukungan dan menang pertarungan.

Mentalitas lainya ikut ditunjukan ialah xenophobik, mental seperti ini agak berbeda di negara Eropa seperti Prancis dan Jerman. Xenophobik sebuah mental gerak membangkitkan identitas etnis secara eksklusif untuk memperkuat akses anti terhadap bangsa Asing. Di Indonesia mental xenophobik memiliki wajah yang mendua akibat tidak adanya dasar “Idiologi” yang jelas menopang.

Ambivalensi sikap seperti ini bisa dilihat dari cara anak bangsa di waktu yang bersamaan ia terlihat anti pada Cina atau AS sampai hari ini, namun dengan senang hati menerima kucuran modal asing. Mental seperti ini bukan xenophobik akan tetapi mental Inlander yang sudah terbangun sejak zaman Kolonial.

Gerakan Politik tanpa sandaran Idiologi

Gerakan-gerakan Politik sepanjang sejarah Indonesia merupakan reaksi emosional (emotional reaction) baik gerakan kanan maupun kiri. Bukan sebuah formulasi atas keadaan berdasarkan refleksi dan kesadaran idiologis, yang berangkat dari pemahaman kritis atas realitas.

Karena tidak ada landasan sejarahnya Itu pula yang menyebapkan setiap gerakan Politik yang dibangun selalu masuk dalam jebakan struktur dan sekenario Internasional. Setiap perubahan internal selalu merupakan dampak dari perubahan di luar kita ini yang mereka lupa.  

Dalam soal pertarungan Politik DKI sesunguhnya dapat di kategorikan dalam konteks penjelasan ini, baik elit serta elemen pendukung lainnya yang melawan Ahok habis-habisan mapun yang mendukung calon lain dengan gaya penuh jumawa. Seolah-olah calon yang di usung itu sempurna. Parahnya lagi elit model seperti ini hobinya menggunakan isu murahan untuk pecah belah.

Karena bergerak tanpa sandaran Idiologi, itu sebabnya selalu mengandalkan Politik pencitraan. Transaksional dan pragmatisme menjadi senjata ampuh yang selalu di gunakan dalam rumus Politik kekuasan, selalu bermain di air keruh kemudian mengambil untungnya. dan setalah itu menujukan ke publik apa yang di lakukan itu benar hingga itu layak di dukung dengan wajah tanpa dosa.

Tidak Ada Kelompok Vanguard    

kita semestinya harus agak kebelakang melihat sejarah munculnya elit masa kolonial. dalam struktur politik munculnya indivindu-individu yang di anggap layak karena memiliki kecakapan, sesunguhnya bukan berasal dari vanguard hingga itu layaknya di sebut elit. apa lagi sistem ekonomi dunia yang kapitalistik selalu bertumpang tindih dengan kepentingan elit lokal, itu sebabnya elit tidak berpikir dalam konteks Politik moderen, Ia hanya perpikir kepentingan dirinya sendiri.

Alasan kemudian kelompok Vanguard tidak pernah muncul karena dalam sisitem pendidikan Belanda, Elit selalu di ambil dari anak camat atau Pamong Praja.Ini menjadi alasan kenapa elit yang pada umunya kita temui dalam struktur Politik tidak pernah berfikir soal kemanusiaan dalam pandangan universal seperti Kesejatraan dan sebagainya.

Struktur logonomiknya hanya menjaga kenikmatan hidup di kalangan elit, (Honocoroko). Hidup enak di lingkaran elit sudah menjadi Idiologi dominan yang terus saja berlaku sampai hari ini, di sadari atau tidak. Semisalkan di kalangan Elit selalu ada Versi yang bisa membenarkan rezimnya berkuasa, sekaligus membangun solidaritas dengan musuhnya untuk menjaga kepentingan masing-masing.

Dalam hal idiologi sepertinya mereka bermusuhan, tapi dalam logonomiknya sama. Sama-sama tidak ada pertanggung jawaban pada kelas Rakyat-nya.!!! 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun